
J5NEWSROOM.COM, Batam – Penanganan kasus dugaan pengeroyokan terhadap DJ Stevanie oleh dua warga negara Vietnam di First Club, Lubuk Baja, Batam, menimbulkan tanda tanya besar setelah penyidikan resmi dihentikan oleh penyidik Polsek Lubukbaja Batam.
Sebaliknya, Kejaksaan Negeri (Kejari) Batam menyatakan belum pernah menerima pemberitahuan penghentian penyidikan (SP3) dari kepolisian.
Kepala Unit Reserse Kriminal Polsek Lubukbaja Batam, Iptu Noval Adimas Ardianto, membenarkan perkara dihentikan setelah para pihak sepakat berdamai. Ia menyebut keputusan tersebut dilakukan sesuai prosedur dan berdasarkan prinsip restorative justice.
“Sudah dilakukan gelar perkara khusus di Polresta Barelang. Semua syarat materiil dan formil untuk restorative justice telah terpenuhi,” jelas Iptu Noval saat dikonfirmasi, Senin (23/6/2025).
Meski begitu, pendekatan damai dalam kasus penganiayaan ini dinilai tidak serta-merta menghapus kewajiban aparat penegak hukum dalam memastikan keadilan. Terlebih, kasus ini menggunakan Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan, yang merupakan delik biasa dan tetap dapat diproses hukum meskipun terjadi perdamaian.
Sementara itu, Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Kejari Batam, Iqram Saputra, menyampaikan pihaknya tidak menerima pemberitahuan resmi SP3 terkait dua tersangka, Le Thi Huynh Trang dan Nguyen Thi Thu Thao.
“Kami belum menerima SP3 atas nama dua tersangka tersebut. Kalau SP3 dikeluarkan saat masa penahanan berjalan, semestinya disampaikan ke kami agar dapat ditelaah secara formil dan materiil,” tegas Iqram.
Kejanggalan makin terasa karena sebelumnya penyidik sempat mengajukan perpanjangan penahanan ke kejaksaan pada 12 Juni 2025 dan mendapatkan persetujuan T4 selama 40 hari ke depan. Padahal masa penahanan baru akan efektif dimulai pada 29 Juni hingga 7 Agustus 2025.
“Kalau sejak awal berniat menghentikan perkara, mengapa ajukan perpanjangan tahanan? Itu menimbulkan pertanyaan,” lanjut Iqram.
Kasus ini bermula pada 7 Juni 2025 dini hari, saat korban DJ Stevanie dilaporkan mengalami luka di wajah, tangan, dan leher akibat dugaan pengeroyokan oleh dua LC asal Vietnam. Keduanya sempat ditangkap saat hendak melarikan diri melalui Pelabuhan Harbour Bay dan dijerat Pasal 170 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal tujuh tahun penjara.
Namun, dalam prosesnya, perkara tersebut dihentikan dengan dalih perdamaian. Padahal, menurut praktisi hukum pidana yang enggan disebutkan namanya, pasal yang digunakan bukan delik aduan.
“Pasal 170 bukan delik aduan. Jadi perdamaian tidak otomatis menghentikan proses hukum,” ungkapnya.
“SP3 itu sah secara hukum, tapi harus diawasi agar tidak jadi celah kompromi bagi pelaku kekerasan, apalagi jika mereka punya modal atau koneksi.”
Ketiadaan koordinasi antara penyidik dan jaksa dalam hal pemberitahuan SP3, serta ketergesaan dalam penerbitan penghentian penyidikan di tengah proses perpanjangan tahanan, menimbulkan keraguan terhadap integritas proses hukum.
Sementara itu, publik mempertanyakan: Apakah hukum hanya berlaku untuk mereka yang tak punya kuasa? Atau mungkinkah, dalam kasus ini, hukum juga ikut tumbang di bawah lampu-lampu remang dunia hiburan malam?
Editor: Agung