DePA-RI di KBRI Beijing: Permasalahan “Male Order Bride” WNI di Tiongkok Perlu Solusi Konkret

Delegasi DePA-RI yang dipimpin oleh Luthfi Yazid terdiri atas 13 anggota saat berkunjung ke KBRI Beijing China. (Foto: J5NEWSROOM.COM)

J5NEWSROOM.COM, Beijing – Setelah memenuhi undangan untuk menyampaikan presentasi di kampus China University of Political Science and Law (CUPL), Luthfi Yazid memimpin delegasi Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia (DePA-RI) mengadakan kunjungan resmi ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Beijing.

Delegasi DePA-RI yang dipimpin oleh Luthfi Yazid terdiri atas 13 anggota, di antaranya Abdul Aziz Zein, Sugeng Aribowo, Ainuddin Abdul Hamid, Aulia Taswin, Muhammad Irana Yudiartika, Wahyu Ramdhani, Ajrina Fradella, dan Rita Ria Safitri.

Dari pihak KBRI, rombongan diterima oleh Nur Evi Rahmawati (Minister Counsellor), Irwansyah Mukhlis (Minister Counsellor bidang Politik), serta Yudil Chatim (Atase Pendidikan dan Kebudayaan). Duta Besar RI saat itu sedang menghadiri agenda resmi lainnya.

Pertemuan berlangsung hangat dan diwarnai diskusi mengenai isu yang sedang mengemuka, yakni fenomena Male Order Bride, yaitu pernikahan antara WNI (terutama perempuan) dengan warga negara Tiongkok melalui perantara agen baik di Indonesia maupun di Tiongkok.

Meski belum terdapat data resmi mengenai jumlah kasus, tren Male Order Bride menunjukkan peningkatan yang mengkhawatirkan. Dalam praktiknya, agen menawarkan “jodoh” warga negara Tiongkok kepada perempuan Indonesia dengan iming-iming calon suami yang sukses, kaya, tampan, dan setia. Agen juga menjanjikan mahar yang besar, seperti Rp100 juta hingga Rp300 juta, namun uang yang diterima oleh calon mempelai perempuan sering kali jauh lebih kecil karena dipotong oleh pihak agen.

Masalah biasanya muncul setelah pernikahan dilangsungkan. Banyak perempuan Indonesia yang kecewa karena kenyataan jauh dari harapan — suami yang ternyata pengangguran, bekerja serabutan, atau tinggal di pelosok desa yang terpencil. Konflik rumah tangga pun tak terelakkan, dan tak jarang berujung pada permintaan cerai. Di sisi lain, pihak suami merasa “dirugikan” karena sudah membayar mahar.

Karena seluruh proses administratif disiapkan oleh agen, maka agen seharusnya bertanggung jawab penuh. Mereka wajib memberikan informasi yang akurat tentang calon suami, termasuk kondisi ekonomi, pekerjaan, dan tempat tinggalnya secara rinci. Jika tidak, agen berpotensi terkena sanksi hukum.

Pihak KBRI sendiri memiliki keterbatasan dalam menangani kasus-kasus seperti ini, karena jumlah staf terbatas, sementara mereka juga harus menangani banyak isu lain, seperti keberadaan lebih dari 14.000 mahasiswa Indonesia di Tiongkok dan meningkatnya volume kerja sama perdagangan Indonesia-Tiongkok.

DePA-RI menilai perlu adanya penertiban dari hulu, yakni dengan pengawasan dan regulasi yang lebih ketat terhadap para agen. Luthfi Yazid menyatakan bahwa DePA-RI siap membantu menyosialisasikan informasi hukum dan prosedur legal yang diperlukan, guna mencegah semakin maraknya praktik Male Order Bride yang merugikan.

“Jika tidak ditangani sejak awal, fenomena ini bisa menjadi masalah sosial-politik yang kompleks,” ujar Luthfi.

Fenomena ini tidak berbeda jauh dari praktik pengiriman pekerja atau mahasiswa ke luar negeri yang juga sering bermasalah. Misalnya, DePA-RI melalui KBRI Tokyo pernah menangani kasus penipuan oleh WNI bernama Eliza Sastra yang menjanjikan keberangkatan kerja atau studi ke Jepang, namun setelah korban membayar, tidak ada realisasi.

Luthfi menekankan bahwa berbagai masalah WNI di luar negeri tidak bisa dibebankan sepenuhnya kepada KBRI. Perlu sinergi antar instansi di dalam negeri — mulai dari imigrasi, dinas tenaga kerja, hingga pemerintah daerah — untuk memastikan setiap pengiriman warga negara ke luar negeri dilakukan secara legal, aman, dan manusiawi.

Di akhir sambutannya, Luthfi Yazid mengucapkan terima kasih kepada KBRI Beijing atas penerimaan dan keterbukaan dalam berdialog dengan delegasi DePA-RI.

Editor: Agung