Sunyi yang Tersisa di Pusat Layanan Autis Batam: Inilah Jeritan Para Ibu dalam Diam

Seorang ibu yang penuh kasih sayang mendampingi putranya yang berkebutuhan khusus. (Foto: Aldy/BTD)

J5NEWSROOM.COM, Batam – Suara penggorengan dari dapur kedai kopi di kawasan Batam Center siang itu nyaris tenggelam oleh suara anak-anak yang mondar-mandir. Di sudut kedai, seorang ibu berdiri dengan canggung, mencoba menenangkan anak lelakinya yang terus berjalan tanpa arah. “Maaf ya, Bu, Pak… anak saya,” ucapnya lirih. Matanya berkaca. Ia bukan mengeluh, hanya sedang lelah.

Namanya Wulandari. Ia datang dengan dua anaknya yang sama-sama penyandang autisme. Siang itu, Rabu 2 Juli 2025, Wulan bukan sendiri. Bersamanya, sejumlah orang tua berkumpul. Bukan untuk protes, bukan pula menggugat siapa pun. Mereka hanya ingin didengar.

Mereka berbicara tentang sebuah tempat yang dulu menjadi harapan—Pusat Layanan Autis (PLA) Batam. Kini, tempat itu tinggal bayang-bayang. Gedung yang lapuk, plafon yang ambruk, dan terapis yang tersisa hanya satu. Sebuah pusat layanan, yang mestinya menjadi pelita bagi anak-anak berkebutuhan khusus, kini hanya menjadi simbol janji yang terabaikan.

“Dulu anak saya terapi di PLA. Kami merasa sangat terbantu. Tapi sekarang, semua terasa berubah,” ucap Wulan, sambil memeluk erat anaknya.

Dulu, PLA memiliki sekitar 60 siswa. Kini tinggal 15. Bukan karena kebutuhan berkurang. Justru sebaliknya. Tapi kepercayaan orang tua mulai goyah. Terapis tak lagi tersedia. Bangunan mulai usang. Dana dari pemerintah belum kunjung turun.

Rana, ibu dari Nabil—seorang pemuda 23 tahun yang juga penyandang autisme—mengatakan bahwa dari lima staf PLA, kini hanya satu yang tersisa. Tiga lainnya telah lolos rekrutmen PPPK, tapi tak kunjung kembali. Yang paling menyakitkan bagi mereka bukan hanya rusaknya gedung, tetapi hancurnya sistem.

“Tak ada formasi khusus untuk PLA dalam rekrutmen PPPK. Kami hanya bisa berharap yang sudah lolos bisa kembali ditugaskan di sana. Tapi sampai hari ini, tak ada kabar,” ucap Rana.

Untuk bertahan, para orang tua iuran. Seratus ribu rupiah per bulan. Dana itu dipakai untuk membayar hidroterapi, terapi musik, dan kebutuhan lainnya. Bandingkan dengan terapi di luar PLA, yang bisa menghabiskan Rp100 ribu per jam.

“Ini bukan soal uang semata. Ini tentang perjuangan kami sebagai orang tua,” ucap Rana dengan mata nanar, sambil menggenggam tangan Nabil.

Yang dirasakan para orang tua adalah sunyi. Negara seolah terlalu jauh untuk mendengar suara anak-anak yang bahkan tak mampu menyuarakan kebutuhannya sendiri. Padahal, mereka juga warga negara. Mereka punya hak yang sama.

Wulandari menambahkan, alternatif hampir tak ada. SLB (Sekolah Luar Biasa) di Batam hanya menerima satu anak autis per sekolah. Sementara sekolah swasta terlalu mahal. “Lalu ke mana anak-anak kami harus pergi?” ujarnya lirih.

Sudah dua tahun wacana penggabungan PLA dengan SLB disebut-sebut sebagai jalan keluar agar PLA bisa mendapatkan alokasi anggaran. Namun hingga kini, janji tinggal janji. Bangunan tetap lapuk, dan layanan makin hilang.

Pemerintah provinsi akhirnya angkat suara. Kepala Bidang Pendidikan Khusus Dinas Pendidikan Provinsi Kepri, Siti Hidayati Roma, mengakui bahwa PLA selama ini belum memiliki dasar kelembagaan yang jelas.

“Secara struktural, PLA itu belum punya legalitas sebagai lembaga. Karena itu, sejak awal tahun sudah kami usulkan untuk masuk dalam perubahan struktur organisasi,” kata Siti saat dihubungi Republika, Rabu 3 Juli 2025.

Menurutnya, ada dua opsi yang sedang dikaji: PLA akan digabung dengan SLB, atau dikelola di bawah Bidang Pembinaan Pendidikan Khusus. Namun kendala utamanya adalah ketiadaan tenaga terapis profesional. Dari lima staf yang pernah bertugas di PLA, tak satu pun memiliki sertifikasi terapi.

“Mereka bukan terapis bersertifikat. Sekarang semua sudah jadi P3K dan ditugaskan di tempat lain. Praktis, PLA tak punya terapis sama sekali,” ucap Siti.

Karena itu, lanjut Siti, jika kelak struktur kelembagaan PLA disahkan, maka layanan terapi harus dilakukan lewat kerja sama dengan tenaga profesional dari luar, sambil menegaskan bahwa terapi dan pendidikan adalah dua hal berbeda.

“Anak autis yang belum lulus asesmen belum bisa masuk SLB. Mereka harus terapi dulu. Jadi bukan peserta didik, tapi peserta terapi. Ini harus dipahami.”

Namun, pemahaman itu belum tentu menghapus rasa sepi para orang tua yang berjuang di lorong-lorong kebijakan yang tak kunjung rampung. Harapan mereka sederhana: PLA tetap hidup. Tetap menjadi rumah bagi anak-anak yang tidak meminta untuk dilahirkan berbeda.

Di akhir pertemuan, Rana menunduk. Ia tak ingin mengulang kalimat panjang, cukup satu kalimat pendek yang terasa berat untuk diucapkan:

“Jangan biarkan PLA mati perlahan. Jangan biarkan kami memperjuangkan ini sendirian.”

Batam panas siang itu. Tapi yang lebih membakar bukan cuaca, melainkan sunyi yang sudah terlalu lama mereka pendam.

Editor: Agung