Indonesia Baru 12 Pendaki Capai Puncak Everest, Kalah dari Malaysia dan Singapura

Duo pendaki gunung perempuan Indonesia di puncak Everest. (Foto: ROS/J5NEWSROM.COM)

Oleh Rosadi Jamani

SAYA mau menginformasi dulu, tulisan terkait Gunung Everest yang sudah dibaca hampir 4 juta, di-takedown oleh Tiktok. Tulisan tentang Gunung K2 terpaksa saya hapus, takut kena penalti kedua. Dihapus karena menampilkan mayat. Tapi, sudah ngajukan banding, mudahan diampuni oleh Tiktok. Numpang nulis di Tiktok, ginilah risikonya, wak. Alhamdulillah, di Facebook aman dua tulisan tu. Makaseh Mark Zuckerberg, kapan-kapan ngopi di Pontianak, bawa istri sekalian, kebetulan banyak keturunan Tionghoa di sini.

Mau melanjutkan pembahasan Everest lagi. Kali ini lebih berhati-hati, takut di-suspend ni akun. Berapa sih orang kita yang sudah mencapai puncak tertinggi di dunia itu? Siapkan lagi kopi tanpa gulanya, wak!

Berdasarkan data dari Himalayan Database, saya kutip dari channel @jaligoeshiking, sudah ada 12 orang Indonesia berdiri di puncak Everest. Hanya dua belas! Padahal di tanah air, pendaki gunung ada di mana-mana, dari yang mendaki gunung sampai yang cuma mendaki status.

Bayangkan, wak! Malaysia sudah mengirim 28 orang, Singapura 20 orang, India 544 orang, Amerika Serikat 783 orang, dan sang tuan rumah Nepal mengukir rekor dengan 1.855 pendaki yang mencapai puncak tertinggi itu. Negeri kita yang konon katanya bangsa petualang, bangsa pencinta alam, bangsa dengan gunung lebih banyak dari jumlah varian mi instan, baru 12 orang yang sampai ke puncak Everest. Bahkan kalau disusun dalam formasi futsal, masih kurang satu untuk cadangan.

Namun, mendaki Everest bukan perkara gaya hidup estetik ala reel Instagram. Ini bukan pendakian dadakan dengan sandal gunung palsu dan mi instan sebagai gizi utama. Ini ekspedisi berdarah, bertarung dengan suhu -40 derajat, ketinggian yang bisa bikin otak meleleh, dan dompet yang mengering seperti bibir ketinggalan lip balm. Biayanya? Minimal sekitar dua miliar lebih. Maka tak heran jika Everest seperti seleksi alam bagi siapa yang punya nyali, nyawa cadangan, dan tabungan yang tak kenal ampun.

Ini dia 12 pendaki yang sudah nangkring di puncak yang hampir menyentuh langit itu. Dia adalah Clara Sumarwati, Asmujiono asal Kopasus, Sofyan Arief Fesa, Xaverius Frans, Janatan Ginting, Broery Andres Sihombing, Nurhuda, Iwan Kwecheng Irawan, Fajri Al Lutfi, Martin Rimbawan, Fransiska Dimitri, dan Mathilda Dwi Lestari. Nama mereka ini terekam jelas di Himalayan Database.

Kalau ada yang ngaku-ngaku sudah nginjak puncak Everest, tinggal dicek Himalayan Database aja, wak. Simpel, kok. Yang dipertanyakan, kita gunung banyak, awas kalau nyebut gunung kembar ya, tak lempar bakso jumbo loh. Setiap provinsi ada gunung. Di Kalbar juga banyak. Bahkan, organisasi Mapala tiap kampus ada. Tapi, kenapa sedikit sekali bisa nancapkan merah putih di sana.

Negeri jiran kita, bukan hanya menang jumlah, tapi juga menggelar ekspedisi nasional dengan gegap gempita dan sponsor bertumpuk. Singapura yang luasnya cuma seupil peta, sukses memproduksi pendaki-pendaki elite. Sementara kita, Indonesia, kadang masih sibuk membahas, “Naik Basecamp itu udah sah disebut pendaki belum?” Maaf, bro. Basecamp Everest itu seperti parkiran bioskop. Nuan belum nonton filmnya, tapi udah selfie di lobby.

“Oke, kita kalah naik Everest, tapi soal sepakbola, kita masih menang lawan Malaysia. Ntar lagi mau ke Piala Dunia.”

Iya, benar, sepakbola masih di atas Malaysia, tapi mereka sudah banyak naturalisasi pemain loh. Lah, kok ngomong sepabola sih. Maaf wak!

Tapi jangan salah. Dua belas orang itu, legenda. Mereka telah menaklukkan atap dunia, saat mayoritas kita masih terengah-engah nyicil KPR. Mereka adalah manifestasi semangat merdeka yang sesungguhnya, bukan lewat pidato, tapi lewat detak jantung yang melambat di zona kematian.

Everest tidak menerima pendaki biasa. Ia hanya menerima mereka yang siap kehilangan segalanya. Dua belas anak bangsa itu, telah membuktikan, meski kita tertinggal secara kuantitas, tapi kualitas tekad Indonesia tak pernah bisa diremehkan. Kita mungkin lambat, tapi ketika sampai, kita akan menggetarkan langit.

#camanewak

Penulis adalah Ketua Satupena Kalbar