
J5NEWSROOM.COM, PT Perkebunan Nusantara IV (PTPN IV) Regional V menegaskan komitmennya dalam menjaga aset negara melalui langkah hukum terhadap konflik lahan yang terjadi di Kecamatan Long Ikis, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Manajemen menekankan bahwa pendekatan persuasif tetap diutamakan, namun tindakan hukum menjadi pilihan saat terjadi perbuatan melawan hukum.
Manajer Kebun Tabara PTPN IV Regional V, Anwar Anshari, menyatakan bahwa seluruh proses hukum yang ditempuh telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Tindakan tersebut, katanya, bukan bertujuan kriminalisasi, melainkan sebagai bentuk tanggung jawab dalam mengelola aset negara yang berada di bawah wewenang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
“Semua langkah kami adalah bagian dari perlindungan terhadap aset negara. Kami berpegang pada hukum, tidak bertindak di luar prosedur,” ujar Anshari dalam pernyataan tertulis, Jumat, 11 Juli 2025.
Ia menjelaskan bahwa lahan yang disengketakan merupakan bagian dari Hak Guna Usaha (HGU) Kebun Tabara, yang saat ini sedang dalam proses perpanjangan. Proses tersebut telah melalui Sidang Panitia B dan ditangani langsung oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kalimantan Timur. Bahkan, permohonan warga untuk menghentikan proses perpanjangan telah ditolak karena dianggap tidak memiliki dasar hukum yang sah.
Anshari juga menanggapi salah satu pemberitaan media NGO yang mencatut pernyataannya tanpa konfirmasi. Ia membantah pernah memberikan pernyataan seperti yang dimuat media tersebut dan menilai informasi itu berpotensi menyesatkan publik.
“Kutipan itu fiktif. Tidak ada wawancara atau permintaan klarifikasi dari media tersebut. Kami menyayangkan pemberitaan yang dibingkai seolah-olah kami semata-mata mengkriminalisasi warga,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa pihak perusahaan sebenarnya telah beberapa kali membuka ruang dialog dengan kelompok masyarakat. Namun saat terjadi pendudukan lahan secara ilegal dan pembangunan pondok di atas aset negara, PTPN IV melaporkannya kepada pihak berwajib karena tindakan tersebut melanggar hukum.
“Kami tetap membuka ruang komunikasi, tapi sebagai pengelola aset negara kami juga punya kewajiban untuk menegakkan aturan,” tuturnya.
Di sisi lain, masyarakat yang mengklaim lahan tersebut mengaku telah mengelola wilayah itu secara turun-temurun dan menolak proses perpanjangan HGU. Mereka menyebut wilayah tersebut sebagai tanah adat, meski hingga saat ini belum dapat menunjukkan dokumen sah yang diakui secara hukum.
Editor: Agung

