
J5NEWSROOM.COM, Tulungagung – Masjid Al Fattah di Tulungagung tampak ramai jelang siang itu, Jumat 11 Juli 2025. Terik mentari tidak menyurutkan langkah para jamaah dari berbagai penjuru daerah. Mereka datang bukan hanya untuk menunaikan kewajiban shalat Jumat, tetapi juga untuk menyaksikan langsung sosok sederhana yang selama ini viral di media sosial karena keteladanannya: Mbah Sutrimo.
Tak seperti kebanyakan tokoh pendiri masjid yang duduk di barisan paling depan, menerima penghormatan dan pandangan utama dari mimbar, Mbah Sutrimo justru memilih tempat yang jarang menjadi pilihan para tokoh. “Setiap sholat Jumat saya lebih sering duduk di sini, bukan di shaf paling depan. Mengutamakan para jamaah,” ucap pria sepuh itu sembari tersenyum hangat, duduk bersila di barisan tengah ke belakang.
Sikapnya mencerminkan keikhlasan. Masjid yang kini berdiri megah itu adalah hasil jerih payahnya, baik dalam arti fisik maupun spiritual. Namun ia memilih menjadi marbot—penjaga masjid—daripada pengurus utama atau penceramah tetap. Keputusan yang barangkali akan terasa berat bagi sebagian orang, namun menjadi ringan di hati seorang Mbah Sutrimo.
Siang itu, salah satu sahabat karibnya, Dr Aqua Dwipayana, pakar komunikasi dan motivator nasional, datang jauh-jauh dari Surabaya untuk shalat Jumat bersama di Masjid Al Fattah. Mereka duduk berdampingan di barisan yang sama. Tanpa jarak status sosial, tanpa sekat peran. Hanya dua sahabat yang sama-sama larut dalam kekhusyukan khotbah Jumat.
“Setiap Jumat selalu ramai yang sholat di sini. Jumlahnya lebih dari seribu orang. Ada yang dari luar kota,” ujar Mbah Sutrimo. Tak sedikit dari mereka yang datang karena penasaran dengan sosok bersahaja yang menginspirasi banyak orang melalui cara yang sunyi: pelayanan yang ikhlas, ketulusan yang nyata, dan sikap rendah hati yang tulus.
Setelah viral di berbagai platform media sosial dan pemberitaan, Masjid Al Fattah kian ramai. Setiap hari, ada saja yang datang. Mereka tidak hanya datang untuk menunaikan sholat, tetapi juga ingin merasakan atmosfer spiritual yang katanya berbeda. Banyak pula yang menyempatkan diri berfoto dengan latar belakang kiswah—kain penutup Ka’bah—yang terpasang di salah satu sisi dinding masjid. “Alhamdulillah,” ucap Mbah Sutrimo lirih, penuh syukur.
Bagi Mbah Sutrimo, kehadiran orang-orang itu bukan untuk mencari popularitas. Ia menganggap semua itu sebagai berkah dan amanah. Semakin banyak yang datang, semakin banyak pula yang bisa dilayani. Baginya, memuliakan tamu dan memberikan tempat utama bagi sesama muslim adalah kehormatan yang jauh lebih besar daripada menjadi pusat perhatian.
Di tengah zaman yang penuh sorotan dan pencitraan, kisah Mbah Sutrimo menjadi pengingat yang sangat berharga. Bahwa sejatinya, kemuliaan tidak harus selalu berada di shaf paling depan. Kadang, justru ada di barisan belakang—di sana, di tempat yang tenang, penuh keikhlasan, tempat orang-orang seperti Mbah Sutrimo duduk dan mengajarkan makna dari sebuah pengabdian sejati.
Editor: Agung