
J5NEWSROOM.COM, Pemerintah Indonesia mengirimkan bantuan sebanyak 10 ribu ton beras ke Palestina atas instruksi Presiden Prabowo Subianto. Namun, langkah ini menuai kritik karena dianggap sebagai bentuk empati yang hanya bersifat simbolis di tengah situasi krisis pangan yang masih dialami oleh masyarakat Indonesia sendiri.
Pengamat hukum dan politik Pieter C Zulkifli menyampaikan bahwa tindakan ini bisa dilihat sebagai bentuk pengkhianatan terhadap prioritas nasional. Menurutnya, ketika pemerintah memilih untuk tampil dermawan di kancah internasional namun mengabaikan jutaan rakyat yang masih kelaparan di dalam negeri, maka itu bukanlah bentuk solidaritas sejati. Ia menekankan bahwa ukuran kepemimpinan bukan pada citra global, melainkan keberpihakan nyata kepada rakyat.
Ia menyadari bahwa empati terhadap Palestina adalah hal yang baik dan bernilai kemanusiaan. Namun, ia juga menyoroti kenyataan bahwa Indonesia masih menghadapi masalah serius seperti tingginya angka stunting, ketimpangan akses pangan, dan jutaan orang yang hidup dari bantuan sosial. Dalam pandangannya, publik pun wajar mempertanyakan apakah bangsa ini sudah benar-benar siap membantu negara lain, ketika kondisi dalam negeri sendiri belum stabil.
Bantuan tersebut diserahkan oleh Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman kepada mitranya dari Palestina pada 7 Juli 2025, bertepatan dengan rencana keberangkatan Presiden Prabowo menuju KTT BRICS di Brasil. Namun, Pieter mengingatkan bahwa sebelumnya cadangan beras nasional sempat menipis akibat gangguan iklim dan gagal panen, sebagaimana diungkapkan oleh Perum Bulog pada Februari 2025.
Dalam situasi seperti ini, menurut Pieter, kebijakan pengiriman beras seharusnya dikaji ulang. Ia menyebut bahwa diplomasi kemanusiaan memang penting, tetapi tidak boleh menutup mata terhadap fakta bahwa jutaan anak Indonesia masih mengalami kekurangan gizi dan harga bahan pokok terus naik. Empati internasional akan jauh lebih kuat jika dimulai dari pemenuhan kebutuhan rakyat sendiri.
Sebagai alternatif, Pieter menyarankan bentuk dukungan lain yang lebih proporsional, seperti bantuan medis, advokasi diplomatik, atau peran aktif dalam upaya perdamaian. Ia juga menilai bahwa Presiden Prabowo punya peluang besar untuk menunjukkan kepemimpinan berkeadilan sosial jika mampu lebih dulu mengutamakan kesejahteraan rakyat.
Pieter mengingatkan, empati adalah cermin nilai kemanusiaan, tetapi jika tidak diawali dari rumah sendiri, maka empati itu menjadi rapuh dan kehilangan makna. Menurutnya, rakyat tidak membutuhkan pidato besar tentang solidaritas global, jika untuk makan sehari-hari pun masih kesulitan.
Ia menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa membantu Palestina adalah tindakan terpuji, namun memastikan anak-anak Indonesia tidak kelaparan adalah amanat konstitusi yang tak bisa diabaikan. Jika tidak berpijak pada keadilan sosial di dalam negeri, maka empati bisa jatuh menjadi sekadar retorika politik belaka.
Editor: Agung

