Cerpen “Ibu Hamil yang Tak Bisa Diselamatkan”

Para penumpang Kapal Barcelona saat menyelamatkan diri. (Foto: Raja Operasa)

Oleh Rosadi Jamani

TRUE story, kisah dari tenggelamnya Kapal Barcelona yang sangat tragis. Ada 571 penumpang selamat. Lima wafat. Tiga teridentifikasi. Dua lagi, belum. Salah satu korban, seorang ibu hamil. Siapkan kopi tanpa gulanya, juga tisu, wak!

Langit Talise waktu itu sedang malas tertawa. Awan menggumpal seperti amarah yang lupa disampaikan. Di laut yang katanya penghubung kehidupan, justru maut lebih dulu tiba. Di atas dek kapal KM Barcelona V yang kini tak lebih dari puing sejarah, duduklah Betrivia Malimbulun. Perempuan kuat dari Talaud yang sedang membawa dua nyawa, satu miliknya, satu lagi belum sempat diberi nama.

Usia kandungannya sudah 38 minggu, cukup bagi bayi untuk meminjam pintu dunia. Tapi Betrivia tahu, ini bukan perjalanan wisata, ini perjalanan hidup-mati. Rujukan medis katanya, tapi terasa seperti rujukan menuju sunyi. Karena di negeri ini, untuk melahirkan anakmu sendiri, kadang harus lebih dulu membakar separuh hidup.

“Buang dulu rasa takutmu,” katanya dalam hati sambil mengelus perutnya, “Negara ini hanya pelupa, bukan pembunuh. Mungkin.”

Kemudian, tepat ketika ombak sedang mengeja puisi, api itu muncul. Bukan dari langit, tapi dari bagian atas kapal yang katanya ‘standar’. Api menjalar seperti berita bohong yang disebar tanpa etika. Asap menari-nari menutupi oksigen yang sudah disubsidi dosa. Penumpang panik. Banyak yang meloncat, bukan karena ingin berenang, tapi karena ingin tetap hidup, meskipun sekadar untuk dimakamkan lengkap.

Betrivia tak meloncat. Bukan karena tak mau hidup, tapi karena ia tak bisa. Kandungannya meringkuk, tubuhnya berat, kakinya menggigil bukan karena takut, tapi karena tekanan darah yang turun seperti janji-janji pejabat.

Ia berusaha berdiri. Napasnya pendek. Perutnya berguncang. Tapi kapal ini bukan rumah sakit. Tak ada oksigen. Tak ada inkubator. Tak ada dokter. Yang ada hanya kobaran api dan suara takdir yang terdengar seperti parodi.

“Ini laut, Bu. Kalau mau selamat, loncat. Jangan banyak mikir!”

Begitu kata seseorang sambil meloncat, meninggalkan logika dan empati di belakang.

Negeri ini memang piawai, membuat rakyatnya memilih antara hidup dengan harga diri atau mati dengan pelan-pelan. Betrivia memilih yang ketiga, diam, lalu tenggelam.

Di dalam laut Talise, ia terapung seperti harapan yang ditolak negara. Janinnya ikut diam. Tak menangis. Tak bergerak. Seolah tahu, dunia ini bukan tempat aman untuk membuka mata.

Beberapa jam kemudian, tubuhnya ditemukan di Pulau Gangga II. Sudah tak bernyawa. Dua nyawa sekaligus, dalam satu tubuh perempuan, diam tak bersuara.

“Korban ibu hamil,” kata petugas dengan nada seperti mengumumkan barang rusak.

Betrivia tak diberi ruang hidup, tapi diberi headline. Media memuja tubuhnya yang kaku. Negara datang dengan karangan bunga, bukan sistem yang berguna. Sementara rakyat, oh rakyat, menangis di kolom komentar, menyalakan lilin digital, dan melanjutkan scroll-nya ke video mukbang atau prank menikahi tembok.

Tiga hari setelahnya, laut Talise kembali tenang. Kapal terbakar itu tinggal sejarah, masuk dalam laporan tertulis yang nanti dibaca sambil ngopi. Seseorang dari parlemen bicara soal evaluasi keselamatan, dengan dasi dan senyum setengah nyawa.

Tapi tak ada yang benar-benar mendengar. Karena bangsa ini tak pernah kekurangan kata ‘duka’, tapi sangat miskin kata ‘perbaikan’. Ibu hamil seperti Betrivia bukan korban, ia hanyalah statistik yang bisa disimpan dalam Excel dan dilupa ketika rapat selesai.

Di suatu titik, di antara gelombang yang tak pernah istirahat, mungkin doa Betrivia masih mengambang. Bukan minta hidup kembali, tapi minta agar anak-anak lain bisa lahir tanpa harus terbakar, agar perempuan-perempuan lain bisa hamil tanpa harus berjudi dengan maut, agar laut Talise tak jadi altar korban setiap musim anggaran.

Tapi siapa yang mau mendengar doa orang mati? Apalagi jika matinya cuma karena naik kapal. Apalagi kalau kapal itu bukan milik keluarga elite.

Akhir cerita. Tapi bukan akhir tragedi. Karena di negeri ini, mati adalah bagian dari transportasi.

Hidup… hanya bagi yang cukup kuat untuk berenang sendiri.

#camanewak

Penulis adalah Ketua Satupena Kalbar