
Oleh Rosadi Jamani
SAYA nulis ini usai pajoh nasi kuning di Kafe Rumah Tepi Jalan Wahidin Pontianak. Maknyos, wak..sumpah. Apa cerita yang ditulis, soal bangsa Afghanistan. Kalau ada bangsa ngaku paling hebat dan kuat, lihat dulu Afghanistan. Mari kita kulik sambil seruput kopi tanpa gula.
Kalau ente masih percaya bahwa bangsa terhebat di dunia itu yang punya gedung pencakar langit tertinggi, atau yang punya startup valuasi triliunan, atau yang punya pemimpin yang bisa main piano sambil berperang, maaf, nuan belum bertemu dengan Afghanistan. Ini bukan bangsa, ini legenda hidup yang tak bisa dihancurkan oleh waktu, bom, embargo, atau bahkan standar PBB.
Pada 3 Juli 2025, Rusia, dengan elegansi ala Tsar digital abad ke-21, akhirnya mengakui pemerintahan Taliban secara resmi. Bukan pengakuan basa-basi, tapi pengakuan sambil berjabat tangan dengan Gul Hassan, Duta Besar Afghanistan yang baru. Dunia mungkin terperangah, tapi Afghanistan hanya mengangkat alis dan berkata, “Akhirnya kau sadar juga, ya?”
“Padahal lho dulu menjajah kami, sekarang minta berkawan.”
Rusia sebelumnya memasukkan Taliban sebagai organisasi teroris. Tapi ya sudahlah. Hati manusia dan daftar hitam politik bisa berubah. Apalagi kalau sudah menyangkut geopolitik dan urusan energi. Putin mencabut status itu pada April 2025 atas saran Sergey Lavrov, yang mungkin diam-diam mengagumi kemampuan Taliban mengatur negara dengan modal Toyota Hilux, kalimat tauhid, dan keberanian tanpa batas.
Bayangkan, wak! Dunia menyangka Taliban akan bubar sebulan setelah Amerika dan NATO angkat kaki pada Agustus 2021. Tapi nyatanya, mereka bukan hanya bertahan, mereka berkuasa, mengatur, dan anehnya, menegosiasikan kerja sama pertanian dan energi dengan kekuatan besar dunia. Negara lain butuh puluhan tahun buat akreditasi ISO dan lolos UPR Dewan HAM PBB. Taliban? Cukup menunggu lawan-lawannya kelelahan.
Apakah Taliban itu ideal? Jelas tidak. Bahkan banyak kebijakannya bikin aktivis HAM insomnia. Tapi mari kita bicara jujur, dalam soal ketahanan, daya lenting, dan kemampuan bertahan di tengah tekanan global, bangsa Afghanistan sudah main di level multisemesta. Mereka adalah satu-satunya bangsa di dunia yang sudah berhasil mengalahkan tiga imperium raksasa, yakni Inggris, Soviet, dan Amerika. Semuanya mundur dengan malu-malu, seperti anak kos ditagih hutang warung.
Saat negara-negara sibuk membuat roadmap ekonomi biru, hijau, ungu, dan pastel, Afghanistan tetap teguh dengan satu prinsip, tanah ini milik kami, dan siapa pun yang datang akan berakhir menginjak ranjau atau dihujani peluru dari balik pegunungan. Bukan karena mereka benci tamu, tapi karena sejarah sudah membentuk mereka seperti batu cadas, keras, dingin, tapi tidak pernah patah.
Kini, dunia akhirnya mulai paham. China langsung menanggapi pengakuan Rusia dengan nada manis dan strategi tersembunyi. Negara-negara lain mulai menghitung ulang peta kekuasaan. Sementara aktivis HAM? Masih teriak dari kejauhan, meski suara mereka makin tenggelam oleh realitas geopolitik.
Afghanistan bukan negara ideal. Tapi ia adalah negara nyata. Sebuah anomali hidup yang membuat para profesor ilmu politik menyerah membuat teori. Mereka tidak tumbuh dengan stabilitas, tapi dengan ujian. Tidak berkembang lewat donor internasional, tapi lewat darah dan debu. Tetap saja, mereka ada. Mereka hadir. Mereka diakui.
Karena pada akhirnya, dalam dunia yang penuh tipu daya dan diplomasi berlapis, hanya satu hal yang benar-benar dihormati, bangsa yang tidak bisa dikalahkan. Bangsa yang tak tunduk walau diancam tarif. Bangsa yang tak mau mencium pantat Trump. Itu adalah Afghanistan. Bukan karena mereka sempurna. Tapi karena mereka tidak pernah punah. Kuat dengan kekuatan sendiri.
#camanewak
Penulis adalah Ketua Satupena Kalbar

