
J5NEWSROOM.COM, Batam – Pengadilan Negeri (PN) Batam menggelar sidang perdana perkara peredaran obat ilegal dengan terdakwa Moh Hasbi pada Senin (21/7/2025). Sidang yang dipimpin majelis hakim Tiwik, dengan anggota Verdian Martin dan Andi Bayu Mandala Putra, mengagendakan pembacaan surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum, Aditya Otavian.
Dalam dakwaannya, jaksa mengungkap peran terdakwa, seorang karyawan di Apotek Nasifa Farma, dalam pengadaan dan distribusi tablet LL mengandung Trihexyphenidyl –obat keras yang tidak memiliki izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI.
“Perbuatan terdakwa jelas memenuhi unsur mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar keamanan, khasiat, dan mutu. Ini bukan sekadar kelalaian, tapi tindakan sadar untuk mencari keuntungan,” ujar jaksa Aditya dalam persidangan.
Jaksa menjelaskan tablet LL termasuk golongan obat-obatan tertentu (OOT) yang penggunaannya dibatasi karena kerap disalahgunakan untuk efek halusinasi. Sejak 2013, BPOM RI telah mencabut izin edar obat tersebut.
“Botol yang ditemukan polos, tanpa label, tanpa izin edar. Ini bentuk pelanggaran serius,” tegas Aditya.
Menurut jaksa, dugaan pelanggaran berawal dari temuan Balai POM Batam pada April – Mei 2024, ketika distribusi obat Tugesal dan Dolgesik-50 dari Pedagang Besar Farmasi (PBF) tercatat masuk ke Apotek Nasifa Farma. Namun saat dilakukan inspeksi pada 3 Juni 2024, baik stok maupun dokumen pendukung tidak ditemukan.
“Apoteker penanggung jawab bahkan membantah pernah memesan obat-obatan tersebut. Ini menandakan ada celah yang dimanfaatkan terdakwa untuk melakukan transaksi secara pribadi,” ungkap jaksa.
Setelah sanksi administratif dijatuhkan oleh Balai POM, Hasbi tetap melanjutkan praktiknya. Ia memesan 1.000 butir tablet LL secara daring pada Agustus 2024, lalu menjualnya seharga Rp 1.200 per tablet. Pada Januari 2025, Hasbi kembali memesan 2.000 butir.
“Jelas ini pola bisnis ilegal yang dijalankan secara sistematis, di luar pengetahuan apoteker dan tanpa jalur distribusi resmi,” kata jaksa.
Penangkapan Hasbi dilakukan pada 10 Januari 2025. Saat itu, petugas Balai POM menemukan paket berisi dua botol masing-masing berisi 1.000 tablet LL, lengkap dengan nomor resi pengiriman. Ponsel yang digunakan terdakwa untuk berkomunikasi dengan pemasok juga turut disita.
“Isi percakapan WhatsApp antara terdakwa dan pemasok menjadi bukti kuat bahwa transaksi dilakukan secara diam-diam, tanpa prosedur yang sah,” tutur Aditya.
Hasil uji laboratorium BPOM Batam membuktikan bahwa tablet LL mengandung Trihexyphenidyl, dan telah dinyatakan tidak memiliki izin edar sejak lebih dari satu dekade lalu. “Obat keras seperti ini sangat berbahaya jika beredar bebas. Ketika jatuh ke tangan yang salah, dampaknya bisa merusak generasi muda,” ujar Aditya memperingatkan.
Selain membacakan dakwaan, dalam sidang tersebut penasihat hukum terdakwa mengajukan permohonan perubahan status penahanan dari tahanan rumah menjadi tahanan kota. Namun majelis hakim belum mengabulkan permintaan itu.
“Surat permohonan baru masuk ke PTSP. Majelis akan mempertimbangkannya lebih lanjut,” jelas hakim ketua Tiwik di ruang sidang.
Atas perbuatannya, Hasbi didakwa melanggar Pasal 435 juncto Pasal 138 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan serta Pasal 53 ayat (1) KUHP tentang percobaan tindak pidana. Ia terancam hukuman maksimal 10 tahun penjara.
Sidang akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi dari Balai POM Batam.
Editor: Agung

