
J5NEWSROOM.COM, Pesantren di Indonesia semakin menunjukkan peran strategisnya dalam menciptakan kemandirian dan ketahanan pangan. Salah satu contohnya adalah Pesantren Al-Ittifaq di Ciwidey, Bandung, yang mengembangkan model agribisnis terintegrasi berbasis pertanian organik dan permakultur. Melalui koperasi pesantren (Kopontren) dan sistem petani alumni, mereka berhasil memenuhi kebutuhan pangan internal dan memasok pasar lokal maupun nasional.
Al-Ittifaq mendampingi 9 kelompok tani yang terdiri dari sekitar 270 petani alumni. Kelompok ini rutin mengirim hasil tani seperti selada, wortel, dan bihari ke pesantren dua kali seminggu. Dengan adanya Kopontren, para petani kini mendapatkan harga yang lebih adil dibanding sebelumnya menjual ke tengkulak.
Model ini berhasil berkembang pesat—sejak tahun 1993 Al-Ittifaq telah memasok sayuran ke pasar modern, bahkan hingga 5,7 ton per hari ke Jakarta dan Bandung. Mereka menerapkan sistem tanam terpadu: sisa panen menjadi pakan ternak, kotoran ternak diolah menjadi biogas dan pupuk, menciptakan siklus pertanian yang efisien dan berkelanjutan.
Di luar Al-Ittifaq, pesantren lain seperti Ma’had Al-Zaytun juga mengembangkan program pertanian terpadu dengan teknologi modern, seperti kultur jaringan, inseminasi buatan, pemrosesan susu, serta pembuatan pupuk dan silase. Program ini menjadikan pesantren berperan aktif dalam pemberdayaan komunitas sekitar melalui kooperasi, pelatihan, dan pendampingan.
Selain itu, beberapa pesantren di NTB seperti Ponpes Darul Abidin menerapkan budidaya ikan lele dengan sistem bioflok. Sementara kelompok seperti Hebitren mendorong pesantren menjadi mitra strategis pemerintah dalam kedaulatan pangan nasional, namun belum tergarap konsisten dalam skala nasional.
Editor: Agung

