
J5NEWSROOM.COM, Sejumlah warga superkaya dari China memutuskan mengalihkan aset dan kepemilikan mereka dari Singapura ke tempat lain. Alasan utamanya adalah ketidakpastian regulasi, pengawasan keuangan yang makin ketat, dan tekanan dari kebijakan dalam negeri yang dianggap meresahkan.
Salah satu faktor penting adalah kebijakan “common prosperity” yang digulirkan pemerintah China. Program ini menekan pendapatan dan kekayaan kelas atas agar ada kesetaraan ekonomi. Akibatnya, para yang memiliki aset besar merasa posisinya semakin rentan di dalam negeri dan takut akan regulasi atau pajak yang makin membebani.
Di samping itu, sejumlah kebijakan pengendalian modal keluar/masuk juga mengganggu fleksibilitas para investor kaya dalam mengelola kekayaan mereka secara internasional. Pengeluaran modal kini harus melalui proses yang dianggap lebih lama dan lebih banyak birokrasi, sehingga Singapura menjadi kurang menarik sebagai tempat transit keuangan atau “single family office”.
Ketidakstabilan regulasi juga diperparah oleh pandemi dan lockdown yang pernah berlangsung lama. Saat pembatasan besar diberlakukan di China, kebutuhan mobilitas dan akses ke layanan internasional menjadi terganggu—ini mendorong orang kaya mencari tempat tinggal yang lebih stabil secara sosial, ekonomi, dan kebijakan.
Singapura sendiri mulai merespons fenomena ini dengan memperketat regulasi terhadap aktivitas keuangan asing, peningkatan pajak atas barang mewah dan kendaraan mahal, serta perubahan kebijakan terkait insentif pajak agar lebih selektif. Semua ini memicu “makin mahal” hidup dan berbisnis di Singapura, sehingga mereka yang berniat tinggal atau aktif secara finansial di sana mempertimbangkan opsi lain.
Editor: Agung