
Oleh Rosadi Jamani
TERTEMBAKNYA Charlie Kirk momentum memperkenalkan dunia sniper pada followers saya. Pasti banyak belum tahu, kan? Nikmati narasinya sambil menikmati seruput kopi sedikit gula aren, wak!
Sejarah politik Amerika kini kedatangan babak baru yang lebih absurd dari sinetron laga tengah malam. Charlie Kirk, juru bicara konservatif 31 tahun, ditembak mati bukan di medan perang, bukan di parit Ukraina, melainkan di podium kampus Utah Valley University. Bukan pula dengan roket Javelin, tapi dengan satu peluru tunggal yang melayang manis dari atap Losee Center. FBI bilang jaraknya sekitar 142–200 yard, jarak yang bagi sniper kelas dunia sama gampangnya kayak netesin kopi tubruk ke cangkir.
Senjatanya? Sebuah senapan bolt-action high-powered, katanya model tua sekelas Mauser .30-06. Senapan yang dulu dipakai prajurit Perang Dunia II, kini dipakai buat menidurkan tokoh politik abad 21. Ironi. Sniper ini seperti mengirim pesan, “Lihatlah, aku bisa membunuh era digital dengan teknologi museum.” Benar saja, dunia maya mendidih, konspirasi berserakan, CIA, alien, Illuminati, bahkan tukang parkir Jalan Gajah Mada ikut dituduh.
Sementara itu, FBI berkeringat kering mencari jejak. Mereka nemu handuk membungkus senjata, cartridge terpakai, beberapa peluru masih nganggur di magazin. Ada jejak kaki, telapak tangan, bahkan cetakan lengan bawah. Persis kayak sniper ini sengaja meninggalkan tanda tangan artistik di TKP, pameran seni forensik ala Banksy. “Ini bukan kejahatan,” seakan-akan ia bilang, “ini instalasi seni.”
Yang bikin makin filosofis, peluru konon bertuliskan slogan-slogan ideologis. Kalau benar, maka sniper ini bukan sekadar pembunuh, tapi juga penyair peluru. Nietzsche mungkin akan berkata, “Tuhan sudah mati, dan digantikan oleh sniper berkacamata hitam dengan ransel di kampus Utah.”
Tapi mari serius sebentar. Dunia sniper itu bukan main-main. Di jarak 150–200 yard, faktor angin, gravitasi, kelembapan udara, bahkan detak jantung penembak ikut menentukan. Sniper biasanya mengatur napas, tarik, tahan, lepaskan picu di antara dua denyut. Kalau ia tidak terlatih, tembakan bisa meleset sejengkal, dan Kirk hanya pulang dengan luka sayat kuping. Faktanya, peluru menembus leher berarti ini kerjaan orang yang tahu cara menidurkan sasaran dengan presisi surgawi.
Di balik dramanya, kita belajar, sniper itu bukan sekadar tukang tembak jarak jauh. Ia filsuf sunyi, penyair garis lurus, penulis puisi balistik. Setiap tembakan adalah tesis tentang keteraturan semesta, lintasan parabola, perhitungan sudut elevasi, kecepatan muatan mesiu. Peluru jadi aksara, target jadi kertas putih. Dunia membaca pesan yang ditulis dengan darah.
Apakah ini kerjaan individu frustrasi, atau operasi hitam yang lebih besar? Entahlah. FBI sudah merilis foto orang misterius berpakaian gelap, bertopi, berkacamata, ransel hitam. Tampak seperti mahasiswa ngantuk mau ujian pagi, bukan pembunuh politik kelas dunia. Justru di situlah absurditasnya, kematian bisa lahir dari wajah biasa, dari sosok yang mungkin barusan pesen mie instan di kantin Mak Leha.
Imbalan 100 ribu dolar dijanjikan bagi siapa pun yang bisa membocorkan identitas sang sniper. Ironi lagi, harga kepala penembak lebih murah dari kontrak pemain cadangan NBA. Tapi mungkin itu pantas. Karena dalam sejarah, sniper selalu berjalan sendirian, tanpa tepuk tangan, hanya ditemani suara peluru yang mendesis, cepat, senyap, lalu hilang.
Maka tragedi Charlie Kirk adalah drama epik sekaligus satire kosmik, seorang pria di podium roboh karena filsafat garis lurus yang ditembakkan dari atap. Dunia terbelalak, FBI kebingungan, dan konspirasi bermekaran. Sementara di balik itu semua, sang sniper, filsuf paling absurd abad ini, mungkin sedang duduk di kafe, menyeruput kopi, sambil tertawa melihat berita.
Semoga kalian dapat pengetahuan baru dunia sniper. Tak lah cerita ngopi mulu, hehehe.
#camanewak
Penulis adalah Ketua Satupena Kalimantan Barat

