
J5NEWSROOM.COM, Padang – Senja baru saja merayap di langit Bungus Teluk Kabung, sebuah kecamatan pesisir yang berada di sisi selatan Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat. Udara laut menghembuskan aroma asin yang berpadu dengan harum masakan dari dapur-dapur rumah yang hangat. Di sinilah, puluhan perantau Minang yang tergabung dalam rombongan Pulang Basamo akhirnya menjejakkan kaki setelah menempuh perjalanan darat sejauh lebih dari seribu kilometer—selama 34,5 jam dari Jakarta.
Bus Al Hijrah K 7780 QC, yang menjadi saksi perjalanan panjang mereka, berhenti tepat di seberang sebuah rumah yang menjadi tempat tujuan utama malam itu. Sorak-sorai kecil terdengar ketika pintu bus terbuka dan satu per satu penumpang turun dengan wajah lelah, namun penuh semangat. Sebagian besar dari mereka adalah warga Minang yang merantau ke ibukota, dan kini kembali ke kampung halaman dalam suasana kekeluargaan yang kental.
“Alhamdulillah, kita sampai dengan selamat. Sehat semua, dan hati bahagia,” ucap Dr Aqua Dwipayana, pakar komunikasi dan motivator nasional yang turut dalam rombongan. Suaranya mantap, menggambarkan rasa syukur yang mendalam atas perjalanan panjang yang ditempuh bersama.
Tidak lama setelah itu, kehangatan yang lain pun menyambut mereka: aneka hidangan khas Minangkabau yang tersaji menggoda di atas meja besar di dalam rumah. Dapur rumah itu sudah bekerja sejak pagi. Dua tangan andal di balik kelezatan itu adalah Afriani dan Dona, dua ibu rumah tangga yang dikenal pandai meracik cita rasa Minang yang otentik.
Meja makan malam itu dipenuhi dengan gulai kepala ikan yang menggugah selera, ikan sala goreng yang renyah, pucuk ubi rebus, anyang yang segar, keripik ikan teri gurih, serta gulai sayur buncir yang hangat dan beraroma kuat. Hidangan-hidangan ini tidak hanya menyajikan rasa, tetapi juga cerita. Masing-masing masakan membawa kenangan masa kecil, tradisi keluarga, dan cinta pada tanah kelahiran.
Tanpa banyak aba-aba, rombongan yang terdiri dari berbagai usia—dari balita hingga lansia—segera menyantap makanan tersebut dengan penuh suka cita. Gelak tawa, candaan ringan, dan ungkapan syukur bersahut-sahutan di tengah sendok-garpu yang berdenting.
“Ini rezeki kita malam ini. Makan enak setelah perjalanan dari Jakarta naik bus lebih dari 34 jam,” ujar Dr Aqua, sembari tersenyum lebar. Matanya berbinar, seperti halnya seluruh rombongan yang malam itu, bukan hanya kenyang secara jasmani, tetapi juga terisi secara emosional dan spiritual.
Rasa lelah sepanjang perjalanan pun sirna. Bungus bukan sekadar tujuan akhir sebuah perjalanan darat lintas provinsi. Ia adalah pelukan hangat kampung halaman, yang menyambut anak-anak rantau dengan tangan terbuka, masakan penuh cinta, dan suasana yang membuat siapa pun merasa pulang.
Editor: Agung

