
Oleh Widdiya Permata Sari
BARU-BARU ini, publik Indonesia digemparkan oleh musibah keracunan massal yang menimpa lebih dari 300 siswa di Kabupaten Bandung Barat. Mereka mengalami mual, muntah, hingga harus dirawat usai mengonsumsi makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG). Program yang sejatinya ditujukan untuk menyehatkan generasi muda, justru menimbulkan bahaya bagi kesehatan
Siswa yang mengalami keracunan seusai menyantap paket Makanan Bergizi Gratis di Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, sudah mencapai 365 orang hingga Selasa (23/9/2025) pagi. Kepala Badan Gizi Nasional Dadan Hindayana menginstruksikan agar pelaksanaan MBG di daerah ini dihentikan sementara.
Sejumlah makanan pada menu MBG yang dikonsumsi siswa diduga basi. Menu MBG yang disantap para siswa adalah nasi, daging ayam, tahu, dan buah potong.
Siswa yang mengalami keracunan berasal dari Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Pembangunan Bandung Barat (PBB), Madrasah Tsanawiyah (MTS) Darul Fiqri, dan Sekolah Dasar (SD) Negeri Sirnagalih.(kompas.id, 23/09/2025)
Program yang sejatinya ditujukan untuk meningkatkan kesehatan generasi muda justru menimbulkan petaka. Diduga, makanan yang disajikan telah mengalami pembusukan. Menu yang terdiri dari nasi, ayam, tahu, dan buah potong seharusnya menjadi sumber energi, namun berubah menjadi ancaman kesehatan. Akibat kejadian ini, Kepala Badan Gizi Nasional menghentikan sementara pelaksanaan MBG di daerah tersebut.
Musibah keracunan makanan yang menimpa ratusan siswa mengingatkan kita bahwa sistem yang hanya berorientasi pada angka dan kuantitas sering kali gagal menjaga keselamatan manusia. Selama standar yang dipakai hanya sebatas administratif dan formalitas, maka kelalaian demi kelalaian akan terus berulang.
Islam menawarkan jalan berbeda. Sistem Islam tidak hanya menilai makanan dari sekadar aspek gizi dan kebersihan teknis, melainkan menekankan beberapa prinsip diantaranya:
Pertama, Menegakkan Prinsip Halal-Thayyib
Setiap makanan harus memenuhi standar syariat: halal bahan bakunya, bersih, sehat, dan tidak membahayakan.
Kedua, Pengawasan Ketat (Hisbah Modern)
Diperlukan sistem pengawasan seperti hisbah, agar makanan untuk publik tidak hanya memenuhi target kuantitas, tapi juga kualitas.
Ketiga, Amanah Penyelenggara
Pihak yang lalai harus bertanggung jawab, bertaubat, dan memperbaiki sistem distribusi. Amanah adalah ibadah, bukan sekadar pekerjaan administratif.
Keempat, Edukasi dan Peran Masyarakat
Sekolah, orang tua, dan masyarakat harus ikut mengawasi. Islam mengajarkan ta’awun ‘alal birri wat-taqwa (tolong-menolong dalam kebaikan).
Kelima, Sanksi Tegas bagi Kelalaian
Jika terbukti ada unsur kesengajaan atau kelalaian besar, syariat menuntut adanya sanksi agar tidak terulang.
Di sinilah letak perbedaannya: ketika sistem buatan manusia mudah kompromi, syariat Allah berdiri tegak tanpa bisa ditawar. Karena itu, solusi yang kita butuhkan bukan sekadar tambal sulam prosedur, melainkan kembali kepada prinsip Islam yang menyeluruh mulai dari pengawasan ketat, amanah penyelenggara, peran masyarakat, hingga sanksi tegas bagi yang lalai. Hanya dengan sistem Islam, setiap langkah bukan hanya soal teknis dunia, tapi juga tanggung jawab akhirat.
Keracunan massal di Bandung Barat menjadi peringatan bahwa sebuah program kebaikan tidak boleh berhenti pada niat. Tanpa amanah, kebaikan bisa berubah menjadi mudarat.
Islam telah memberi solusi yang lengkap: makanan harus halalan thayyiban, amanah harus dijaga, dan pengawasan harus ditegakkan.
Semoga tragedi ini menjadi cermin bagi kita semua untuk kembali kepada syariat dalam mengurus umat, agar program kebaikan benar-benar membawa berkah, bukan musibah.*
Penulis adalah Aktivis di Komunitas Gen Hijrah Batam

