
J5NEWSROOM.COM, Batam – Anggota DPRD Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), Taba Iskandar, meminta pemerintah pusat meninjau ulang kebijakan pembayaran lahan di Kota Batam. Ia menilai masyarakat Batam saat ini dibebani dua jenis pungutan ganda. Yaitu, pungutan Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO) oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) oleh Pemerintah Kota (Pemko) Batam.
“Masyarakat dikenakan pungutan ganda. PBB dibayar setiap tahun, sementara UWTO setiap 30 tahun. Sampai kapan masyarakat Batam dianggap menumpang?” ujar Taba Iskandar saat menyampaikan laporan hasil reses dalam Rapat Paripurna DPRD Kepri Masa Sidang III Tahun Anggaran 2024–2025, Senin (29/9/2025).
Ia menilai skema pembayaran uang pungutan sewa lahan tersebut tidak adil, khususnya bagi warga yang telah menetap secara permanen. Menurut Taba, sistem sewa lahan sebaiknya diberlakukan untuk kawasan industri atau jasa saja, bukan untuk lahan pemukiman warga.
Politikus Partai Golkar asal Daerah Pemilihan (Dapil) 6 Kota Batam itu mendesak agar UWTO dihapus dan cukup diberlakukan satu pungutan, yaitu PBB. Caranya, pemerintah mencabut pengalokasian lahan (PL) di permukiman warga. Lalu, status lahan dikembalikan ke negara, sehingga memberi kesempatan kepada warga Batam untuk memperoleh sertifikat hak milik.
BACA JUGA: Taba Iskandar Paparkan Peran Ormas di Tahun Politik Era Digital
“BP Batam bisa mencari sumber penerimaan lain di luar UWTO. Harapan masyarakat Batam adalah memiliki kepastian hukum atas tanah mereka,” tegas Taba lagi.
Tanggapan Kepala BP Batam
Menanggapi hal itu, Wali Kota Batam sekaligus Kepala BP Batam, Amsakar Achmad, menyatakan pihaknya belum membahas penghapusan UWTO. Saat ini fokus utama BP Batam adalah menyiapkan sistem tata kelola lahan yang lebih baik.
“Kami sedang mengembangkan Land Management System (LMS) yang diharapkan dapat mendukung peningkatan investasi di Batam,” ujar Amsakar, Kamis (11/9/2025) lalu.
Amsakar menyebut, aspirasi masyarakat soal UWTO akan diteruskan dalam rapat dengan Komisi VI DPR RI. Namun hingga kini belum ada formulasi yang mengatur penghapusan UWTO, termasuk untuk lahan di bawah 200 meter persegi. “Tarif UWTO juga bervariasi tergantung kawasan. Untuk kawasan industri memang lebih mahal,” katanya.
Infrastruktur dan Tenaga Kerja
Selain isu lahan, Taba Iskandar juga menyoroti sejumlah persoalan lain yang dihadapi masyarakat di wilayah Dapil-nya yang meliputi Bulang, Galang, Nongsa, dan Sei Beduk. Salah satunya adalah kondisi jalan Sei Beduk–Mukakuning yang rawan kecelakaan. “Sudah sering memakan korban jiwa. Jalan ini merupakan kewenangan BP Batam dan harus segera diperbaiki,” tegasnya.
Di sektor ketenagakerjaan, Taba menyampaikan aspirasi agar perusahaan besar di Batam, baik di Kabil, Tanjunguncang, Batuampar, maupun Punggur, lebih mengutamakan tenaga kerja lokal dalam proses rekrutmen.
Masalah banjir dan tata kelola lingkungan juga menjadi perhatian. Taba menilai lemahnya pengawasan terhadap alokasi lahan dan pembangunan yang tidak disertai kajian AMDAL turut memperparah persoalan banjir di sejumlah titik pemukiman.
“Di Rempang dan Galang, warga juga masih hanya menikmati listrik 14 jam per hari. Sudah saatnya pemerintah menyalurkan pasokan listrik penuh 24 jam,” katanya.
Sektor ekonomi rakyat dan pelayanan publik juga disorot, termasuk kebutuhan nelayan terhadap fasilitas pendukung serta kekurangan tenaga medis di beberapa wilayah.
Editor: Agung

