
Oleh Widdiya Permata Sari
DI ERA digital, segala hal bisa menjadi viral dalam sekejap. Tak terkecuali isu yang menyentuh identitas dan keimanan. Belum lama ini, publik dibuat heboh oleh kisah seorang remaja muslimah berhijab yang secara terbuka mengaku sebagai bagian dari komunitas LGBT.
Banyak yang terkejut, sedih, bahkan bingung. Bagaimana mungkin seseorang yang mengenakan hijab yang merupakan simbol ketaatan justru menentang fitrahnya sebagai wanita? Fenomena ini bukan sekadar masalah moral, tetapi menunjukkan fitrah manusia yang sedang terguncang.
Fitrah dan Naluri Dasar Manusia
Islam mengajarkan bahwa manusia diciptakan dengan akal dan tiga naluri dasar (gharizah). Naluri ini adalah “fitur bawaan” yang jika tidak diarahkan oleh syariat, bisa berubah menjadi sumber penyimpangan.
1. Gharizah Baqa’ (Naluri Mempertahankan Diri)
Naluri ini membuat kita ingin aman, diterima, dan diakui. Namun, keinginan untuk diterima kadang membuat seseorang rela menyesuaikan diri dengan lingkungan yang salah, termasuk lingkungan yang menormalisasi perilaku LGBT.
Padahal, penerimaan sejati hanya datang dari Allah. Bila kita mencari pengakuan dari manusia, kita akan lelah; tapi bila kita mencari ridha Allah, hati akan tenang.
Adapun solusi yang bisa dilakukan adalah mencari lingkungan pertemanan yang shalihah, majelis ilmu, dan komunitas yang menjaga iman. Di sanalah rasa aman dan penerimaan sejati akan ditemukan.
2. Gharizah Nau’ (Naluri Kasih Sayang dan) Melestarikan Jenis
Naluri cinta dan kasih sayang adalah fitrah. Allah menanamkannya agar manusia membangun keluarga dan melahirkan generasi. Namun, cinta yang tidak dibimbing oleh iman bisa tergelincir menjadi penyimpangan.
Hubungan sesama jenis bukanlah ekspresi kasih sayang yang suci, melainkan pelanggaran terhadap kodrat penciptaan. Islam tidak menolak rasa sayang, tetapi mengatur bagaimana dan kepada siapa naluri itu disalurkan, yaitu hanya melalui pernikahan yang sah antara laki-laki dan perempuan.
Adapun Tugas kita sebagai muslimah yang harus dilakukan yaitu : menjaga pandangan, memperhatikan pergaulan, dan menundukkan perasaan pada aturan Allah.
3. Gharizah Tadayyun (Naluri Beragama)
Setiap manusia memiliki dorongan untuk tunduk dan mengagungkan sesuatu. Bila naluri ini tidak diarahkan kepada Allah, ia akan mencari “tuhan-tuhan” lain: hawa nafsu, tren sosial, atau opini publik.
Remaja berhijab yang mengaku LGBT mungkin masih memiliki naluri beragama, tapi pemenuhannya keliru. Ia berhijab sebagai simbol ketaatan, namun menolak aturan Allah dalam aspek lain.
Inilah bahayanya beragama parsial. Islam tidak bisa diambil setengah-setengah. Jika kita benar-benar beriman, maka seluruh aspek hidup,pikiran, perasaan, dan tindakan sejatinya harus tunduk pada aturan Allah secara kaffah (menyeluruh).
Hijab dan Hati: Seharusnya Seirama
Hijab bukan sekadar kain penutup kepala, melainkan pernyataan iman. Ia adalah deklarasi ketundukan seorang wanita kepada Rabb-nya. Maka sungguh ironis bila hijab dipakai, namun gaya hidup bertentangan dengan syariat tetap dijalani.
Hijab tanpa ketundukan hati hanyalah simbol tanpa makna. Islam menuntun kita agar berhijab lahir dan batin, menjaga aurat sekaligus menjaga akhlak, pandangan, dan prinsip hidup.
Menjaga Fitrah di Tengah Ujian Zaman
Viralnya isu LGBT di kalangan remaja muslimah harus menjadi pengingat bahwa fitrah bisa pudar jika tidak dijaga dengan ilmu dan lingkungan yang benar.
Fitrah itu ibarat benih: ia akan tumbuh sesuai tanah tempatnya ditanam. Bila dikelilingi oleh konten, teman, dan budaya yang salah, maka fitrah pun bisa layu. Karena itu, Islam hadir bukan untuk mengekang naluri, tapi mengarahkannya agar tetap sesuai kehendak Sang Pencipta.
Kita hidup di era ujian fitrah. Namun, ingatlah — Allah tidak menciptakan kita untuk hanyut dalam arus, melainkan untuk menjadi cahaya di tengah gelapnya zaman.
Jaga hijabmu, jaga hatimu, dan jaga fitrahmu.
Karena dari fitrah yang terjaga, akan lahir peradaban yang beradab dan bertauhid.*
Penulis adalah Anggota Komunitas Gen Hijrah Batam.

