
J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Suasana pagi di Kompleks Kejaksaan Agung RI, Jakarta Selatan, Rabu (29/10/2025), terasa berbeda. Di ruang kerja yang tertata rapi, Kepala Badan Pemulihan Aset Kejaksaan Agung, Dr Amir Yanto, tampak berbincang hangat bersama tiga tamu yang datang bersilaturahim. Mereka adalah Direktur C pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum Agoes Soenanto Prasetyo, stafnya Dr Suseno, dan Pakar Komunikasi serta Motivator Nasional Dr Aqua Dwipayana.
Obrolan mereka mengalir akrab, penuh tawa dan canda, namun sesekali diselingi nada haru. Hari itu bukan hari biasa bagi Dr Amir. Hanya dua hari lagi, tepat di awal November, ia resmi memasuki masa purnabakti setelah mengabdikan diri selama lebih dari 34 tahun di lembaga penegak hukum itu.
“Masa tugas saya tinggal dua hari lagi. Mulai awal November 2025 saya pensiun. Setelah lebih dari 34 tahun bertugas di Kejaksaan Agung,” ucapnya dengan nada lembut, namun tegas seperti biasa. Kalimat itu diucapkan dengan senyum tulus, bukan nada sedih, melainkan rasa syukur yang mendalam.
Perjalanan panjang karier Dr Amir Yanto di Kejaksaan Agung tidaklah sederhana. Putra asli Boyolali, Jawa Tengah, ini telah menduduki berbagai jabatan strategis di tubuh korps Adhyaksa. Dari posisi sebagai jaksa muda hingga puncaknya sebagai pejabat eselon satu yang memegang amanah besar, termasuk Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan dan Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen.
Keteguhan prinsip, kecerdasan intelektual, dan kesantunan dalam berinteraksi membuat sosoknya dikenal luas sebagai jaksa yang berintegritas dan rendah hati. Dalam setiap amanah, ia selalu menekankan pentingnya menjaga marwah lembaga serta kepercayaan publik.
“Menjadi jaksa bukan hanya soal menegakkan hukum, tapi juga menjaga keadilan yang bermartabat,” ujarnya suatu kali dalam sebuah forum internal. Kalimat itu menggambarkan pandangan moral seorang penegak hukum yang menempatkan nilai kemanusiaan sejajar dengan profesionalitas.
Tidak banyak pejabat yang mampu menyambut masa pensiun dengan senyum selebar Dr Amir. Ketika banyak orang cemas memikirkan akhir masa tugas, ia justru terlihat ringan dan tenang.
“Alhamdulillah, saya bersyukur sekali. Saya bahagia menjelang pensiun ini,” tuturnya kepada tamu-tamunya. “Saya sudah melalui perjalanan panjang. Sekarang waktunya lebih banyak beribadah dan bersilaturahim.”
Bagi Dr Amir, pensiun bukanlah akhir pengabdian, melainkan awal babak baru untuk berbuat kebaikan di luar struktur birokrasi. Ia berencana menghabiskan waktu lebih banyak bersama keluarga dan memperluas jejaring silaturahim yang selama ini ia rawat dengan tulus.
Sikap itu membuat suasana di ruangannya terasa sejuk. Tak ada kesan berat hati, tak ada nada melankolis. Yang hadir justru semangat dan ketenangan batin, hasil dari keyakinan bahwa setiap fase kehidupan adalah ladang syukur.
Dalam perbincangan yang berlangsung hampir dua jam, Dr Aqua Dwipayana memuji ketulusan sahabatnya itu. Ia mengenal Dr Amir sebagai pribadi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga sangat hangat dan menghargai orang lain tanpa memandang jabatan.
“Selamat menikmati jadi orang bebas merdeka, Pak Amir,” ucap Dr Aqua sambil tersenyum lebar. Candanya disambut tawa kecil oleh semua yang hadir. Di balik canda itu, tersimpan makna mendalam: kebebasan sejati bukan hanya bebas dari jabatan, tapi juga dari beban yang mengekang hati.
Silaturahim pagi itu menjadi ajang berbagi pengalaman dan renungan. Bagi para tamu yang datang, kehadiran Dr Amir menjadi teladan tentang bagaimana seorang pejabat tinggi menutup masa pengabdiannya dengan elegan penuh syukur, tanpa ambisi pribadi, dan dengan semangat untuk terus menebar manfaat.
Meski pernah memegang jabatan penting di Kejaksaan Agung, Dr Amir tetap dikenal sederhana. Ia tidak pernah menonjolkan diri, apalagi memamerkan kekuasaan. Banyak staf muda mengenalnya sebagai sosok pembimbing yang sabar dan mudah didekati.
Dalam setiap kesempatan, ia menekankan pentingnya kejujuran dan kerja tulus. “Kalau kita bekerja dengan niat baik dan hati yang bersih, hasilnya akan mengikuti,” ujarnya suatu kali kepada anak buahnya. Prinsip itu ia pegang teguh hingga akhir masa dinasnya.
Kerendahan hati itulah yang membuatnya dihormati, bukan karena jabatannya, tapi karena kepribadiannya.
Menjelang berakhirnya pertemuan pagi itu, Dr Amir sempat menatap dinding ruang kerjanya yang telah menemaninya selama beberapa tahun terakhir. Di sana terpajang sejumlah piagam dan foto kenangan saksi perjalanan panjang seorang jaksa yang telah menempuh jalan penuh tantangan dan pengabdian.
Namun bagi dirinya, penghargaan terbesar bukanlah piagam atau jabatan, melainkan ketenangan hati karena telah menjalani amanah dengan baik. “Saya hanya ingin menutup masa dinas ini dengan bersih, dengan rasa syukur,” ujarnya pelan.
Ucapan itu menegaskan satu hal: bahwa keberhasilan seorang pejabat tidak diukur dari seberapa tinggi posisinya, melainkan seberapa besar ketulusannya dalam melayani negeri.
Kini, di usia pensiun yang baru akan ia jalani, Dr Amir Yanto bersiap melanjutkan pengabdian dengan cara berbeda. Bukan lagi lewat meja kerja dan surat keputusan, melainkan lewat silaturahim, nasihat, dan teladan hidup.
Sosoknya menjadi cermin bahwa jabatan hanyalah titipan sementara. Ketika masa itu usai, yang tersisa bukan kekuasaan, melainkan nama baik dan amal kebaikan yang tak lekang waktu.
“Alhamdulillah,” ucap Dr Aqua saat berpamitan, “hari ini kami belajar banyak dari Pak Amir tentang ketenangan, kebijaksanaan, dan rasa syukur yang sesungguhnya.”
Di penghujung kariernya, Dr Amir Yanto menutup perjalanannya dengan kepala tegak dan hati lapang. Ia mungkin akan meninggalkan ruang kerjanya, namun nilai dan teladannya akan tetap hidup menjadi inspirasi bagi generasi penerus di Kejaksaan Agung dan di luar sana.
Editor: Agung

