
Oleh L.N. Firdaus
Saban kali bangsa ini memperingati Hari Pahlawan, kita seakan diajak kembali merenung: siapa sebetulnya yang layak disebut pahlawan, dan apa maknakepahlawanan itu sendiri di masa kini?
Ada tokoh yang diusulkan, ditunda, atau diperdebatkan. Sampai-sampai mencuatgagasan agar dibedakan antara pahlawan nasional dan pahlawan daerah agar penghargaan itu lebih adil dan proporsional.
Namun, di luar perkara gelar dan legitimasi itu, sesungguhnya ada hal yang jauh lebih penting: hakikat kepahlawanan itu sendiri.
Dalam dunia pendidikan, kita mengenal ungkapan klasik: “Guru adalah Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.” Ungkapan ini terdengar begitu akrab, bahkan nyaris klise. Namun di balik kesederhanaannya tersimpan makna yang dalam.
Ia mengingatkan bahwa kepahlawanan tidak lahir dari tanda jasa atau penghargaan, melainkan dari ketulusan untuk berbuat demi kebaikan bersama. Guru berjuang bukan untuk dikenang, melainkan untuk menyalakan api pengetahuan dalam diri orang lain.
Ada pula ungkapan yang entah punya siapa: “Guru adalah Pahlawan. Pahlawan adalah orang yang memiliki Gagasan.” Kalimat ini membuka pandangan bahwa kepahlawanan bukan hanya soal keberanian fisik di medan perang, tetapi juga keberanian berpikir, bermimpi, dan memperjuangkan gagasan yang mengubah kehidupan orang lain.
Pahlawan sejati adalah mereka yang berani melawan kejumudan, menantang kebodohan, dan menanamkan harapan di tengah ketidakpastian.
Kepahlawanan, dalam makna yang terdalam, adalah keberanian moral untuk tetap berbuat baik ketika dunia menertawakan idealisme, untuk tetap menanam meskihasilnya belum pasti.
Bagi seorang guru, kepahlawanan itu hadir setiap kali ia sabar menuntun murid yang tak tentu arah. Setiap kali ia lebih memilih menginspirasi daripada menghakimi, menyalakan kembali semangat belajar di hati yang nyaris malap.
Maka, hakikat kepahlawanan tidak pernah terletak pada nama yang diabadikan dalam monumen, melainkan pada pengaruh yang hidup dalam tindakan dan keteladanan.
Negara mungkin bisa memberi gelar, tapi hanya masyarakat dan murid-muridlah yang mampu menghidupkan maknanya.
Di alaf yang mudah melupakan, guru-lah penjaga ingatan moral bangsa. Dan mungkin, justru karena tidak menuntut tanda jasa itulah, para guru menjadi pahlawan sejati yang terus menanam gagasan, menumbuhkan akal budi, dan menjaga cahaya kemanusiaan agar tak pernah padam, bahkan setelah namanya terlupakan.
Direktur Eksekutif Pusat Transformasi Minda Guru (CTMT) FKIP Universitas Riau

