Hakim PN Batam Vonis Terdakwa Ahui di Bawah Batas Minimum, Jaksa Langsung Banding!

Terdakwa Junaidi alias Ahui, usai divonis 10 bulan penjara di PN Batam, Senin (13/10/2025). (Foto: Paskal/BATAMTODAY)

J5NEWSROOM.COM, Batam – Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Batam terhadap Junaidi alias Ahui dalam kasus perusakan kawasan mangrove Sembulang Batam menuai tanda tanya. Terdakwa dijatuhi vonis 10 bulan penjara dan denda Rp 1 miliar, padahal Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) secara tegas mengatur hukuman paling singkat 1 tahun penjara.

Majelis hakim yang diketuai Tiwik menyatakan Junaidi terbukti bersalah melanggar Pasal 99 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023. Namun, vonis yang dijatuhkan lebih ringan dari tuntutan jaksa 1 tahun 5 bulan penjara.

“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Junaidi alias Ahui dengan hukuman penjara 10 bulan dan denda Rp1 miliar, subsider satu bulan kurungan,” ujar hakim Tiwik dalam sidang putusan di PN Batam, Senin (13/10/2025).

Majelis hakim juga memerintahkan pengembalian 50 karung arang kepada terdakwa, sementara lahan dan bangunan gudang di kawasan mangrove Sembulang dikembalikan kepada Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) untuk dibongkar.

Usai sidang, Jaksa Penuntut Umum maupun penasihat hukum terdakwa menyatakan pikir-pikir terhadap putusan tersebut. “Kami akan mempertimbangkan langkah hukum selanjutnya,” kata jaksa Arfian seusai persidangan.

Vonis di Bawah Batas Minimum Pidana UU PPLH

Sesuai Pasal 99 Ayat (1) UU PPLH, setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan terlampauinya baku mutu lingkungan dipidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun, serta denda antara Rp 1 miliar hingga Rp 3 miliar.

Dengan demikian, vonis 10 bulan penjara terhadap Ahui lebih ringan dari batas minimum pidana yang diatur dalam undang-undang. Hal ini menimbulkan pertanyaan publik terkait konsistensi penerapan hukum lingkungan hidup di Indonesia.

Kasus ini berawal dari pembangunan sejumlah gudang arang milik PT Anugerah Makmur Persada di kawasan hutan lindung mangrove Sembulang, sejak 2019 hingga Januari 2023.

Bangunan tersebut didirikan tanpa izin mendirikan bangunan (IMB), tanda daftar gudang, dan dokumen lingkungan yang sah. Beberapa gudang bahkan menjorok ke laut dan menimbun kawasan pesisir, menyebabkan kerusakan ekosistem mangrove.

Hasil analisis laboratorium Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menemukan perubahan signifikan pada kondisi fisik dan kimia tanah, seperti penurunan kadar pH, hilangnya vegetasi mangrove, serta kerusakan permanen ekosistem pesisir.

Gudang-gudang itu digunakan untuk menyimpan dan mengolah arang dari Selat Panjang, Lingga, dan Karimun sebelum diekspor ke luar negeri, melibatkan ratusan pekerja dalam aktivitas bongkar muat.

Kasus ini terungkap setelah kunjungan lapangan tim gabungan dari Komisi IV DPR RI, KLHK, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) pada 2023.

Dalam kunjungan itu, Direktur Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani, menegaskan bahwa perusahaan tersebut beroperasi tanpa izin resmi dan telah merusak kawasan lindung. “Kerusakan lingkungan di kawasan lindung bukan sekadar pelanggaran administratif. Ini kejahatan terhadap ekosistem,” tegas Rasio kala itu.

Putusan yang menjatuhkan vonis di bawah batas minimal pidana menimbulkan pertanyaan besar di kalangan pemerhati hukum dan lingkungan. Jika undang-undang telah menetapkan batas minimum pidana satu tahun, maka putusan 10 bulan berpotensi dianggap tidak sesuai ketentuan normatif.

Kini, publik menantikan langkah hukum berikutnya dari Kejaksaan Negeri Batam untuk kepastian hukum dan keadilan lingkungan benar-benar ditegakkan dalam kasus ini.

Editor: Agung