
J5NEWSROOM.COM, Batam – Suara isak itu memecah hening ruang sidang utama Pengadilan Negeri (PN) Batam, Kamis (13/11/2025) siang. Di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Andi Bayu Mandala Putra, seorang perempuan muda berpenampilan sederhana menggigil menahan emosi.
Matanya sembab, suaranya parau, dan tangan mungilnya bergetar saat jaksa memutar rekaman video terkait kekerasan yang dialami di ruang sidang. “Ini saya, Pak Hakim, Saya dipukul disuruh makan kotoran anjing,” ucapnya lirih kala melihat rekaman video dari JPU.
Perempuan itu Intan, 23 tahun, pekerja rumah tangga asal Nusa Tenggara Timur. Ia didudukkan sebagai saksi korban dalam perkara dugaan kekerasan dalam rumah tangga dengan terdakwa Roslina, majikan yang selama berbulan-bulan disebutnya menyiksa tanpa ampun.
Jaksa Penuntut Umum, Aditya Syaummil, menghadirkan empat saksi hari itu, Intan, Regina, Ismawati, dan Triana. Tiga di antaranya mengenal Roslina sebagai majikan. Satu lainnya teman dekatnya. Tapi sorotan mata para pengunjung hanya tertuju pada Intan.
Begitu video bukti kekerasan diputar, ruang sidang mendadak sunyi. Dalam layar, terlihat tubuh kurus Intan terguncang, wajahnya lebam, dan suara bentakan majikannya memenuhi ruangan. Tangis Intan pecah, tubuhnya limbung. Jaksa buru-buru memintanya duduk, sementara hakim memerintahkan sidang diskors sejenak.
Kisah Intan bermula Juni tahun lalu. Ia datang ke Batam setelah dibujuk pamannya, Yulius, dan tantenya, Burakina. Ia tak banyak bertanya, hanya tahu akan “bekerja di rumah orang baik” di kawasan Sukajadi. Nyatanya, yang menanti bukan pekerjaan rumah biasa melainkan sebuah penjara tanpa jeruji.
Setiap hari ia bangun pukul lima pagi, tidur lewat tengah malam. Mengurus rumah, mencuci, membersihkan kotoran 16 anjing peliharaan majikannya, tanpa waktu istirahat yang cukup.
“Kalau salah sedikit, langsung dipukul. Kadang dijambak, disiram air kotor, disuruh tidur di depan kamar mandi,” ujarnya di hadapan majelis.
Tak ada kasur, tak ada bantal. Sekadar lantai dingin menemani malamnya. Roslina bahkan mencatat “kesalahan” Intan dalam buku kecil yang disebut “buku dosa”, lengkap dengan potongan gaji yang tak pernah dibayarkan penuh.
“Dia suka bilang, saya ini anjing, bukan manusia,” kata Intan lirih.
Kekerasan itu, kata jaksa, berlangsung sistematis. Saat Roslina pergi keluar kota, penyiksaan dilanjutkan oleh pembantu lain, Merlin, atas perintah sang majikan. Dalam salah satu pengakuannya, Intan mengaku dipaksa makan kotoran anjing dan minum air kloset.
“Katanya supaya saya belajar bersih,” ujarnya tersedu.
Intan tak pernah berani melapor. Telepon genggamnya disita, ia hanya boleh menggunakannya tengah malam dan harus mengembalikannya sebelum pagi. Setiap ancaman dari majikan membuatnya kian terkungkung dalam ketakutan.
“Dia bilang kalau saya cerita, saya yang akan dilaporkan ke polisi,” tutur Intan.
Ketika kasus ini mencuat di media sosial lewat rekaman video, aparat akhirnya bergerak. Intan diselamatkan dan dirawat di RS Elisabeth Batam selama tiga hari.
“Kepala saya masih sering pusing sampai sekarang. Dada saya juga masih sakit. Saya masih trauma, masih kebawa mimpi,” katanya menunduk.
Roslina, terdakwa yang duduk tenang di kursi hijau, hanya menatap datar. Di sebelahnya, tiga pengacara Dr. Sidik Purnama, Dwi Amelia Permata, dan Lisman Hulu sesekali berbisik menenangkan kliennya.
Sidang itu berakhir tanpa teriakan, hanya gema tangis yang tersisa di ruang pengadilan.
Ketua majelis hakim menutup sidang dengan suara berat, meminta semua pihak menjaga ketertiban. Tapi di luar ruang sidang, kisah Intan terus bergema sebuah potret buram tentang kekerasan, kuasa, dan perbudakan yang masih bertahan di rumah-rumah modern.
Kasus Intan bukan yang pertama. Dalam catatan Komisi Keadilan Perdamaian Pastoral Migran dan Perantau (KKPPMP) Kepri, sedikitnya 10 bahkan lebih kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga migran dan domestik dilaporkan sejak 2022. Sebagian besar korban berasal dari Nusa Tenggara Timur dan Flores.
Mereka datang ke Batam lewat jalur informal, tanpa kontrak kerja, hanya bermodal kepercayaan pada saudara atau “calo kerja” di kampung. Begitu tiba, ponsel disita, gaji tidak dibayar, dan hidup dalam pengawasan majikan 24 jam.
“Kasus Intan memperlihatkan praktik perbudakan modern di tengah kota yang sibuk dan berkilau. Dia tidak hanya disiksa, tapi juga dilucuti martabatnya sebagai manusia,” ujar Romo Chrisantus Paschalis Saturnus, Ketua KKPPMP Kepri, yang mendampingi korban.
Sidang Roslina ditutup sore itu dengan agenda pemeriksaan saksi berikutnya. Roslina tetap diam. Hanya sesekali berbisik kepada pengacaranya. Di luar ruang sidang, sejumlah kerabat dan keluarga memeluk Intan yang masih gemetar.
“Saya cuma mau adil. Saya cuma mau hidup tenang,” katanya pelan.
Saat melangkah keluar dari ruang sidang, Air mata yang menetes perlahan disekanya sendiri. Untuk pertama kalinya, setelah sekian lama jadi bayangan di rumah Sukajadi, suara Intan akhirnya didengar.
Kasus Roslina memperlihatkan kekosongan perlindungan hukum bagi pekerja rumah tangga di Indonesia. Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang sudah mengendap di DPR lebih dari satu dekade belum juga disahkan.
Sementara di lapangan, kekerasan seperti yang dialami Intan terus berulang diam-diam, di balik pagar tinggi rumah orang-orang yang disebut ‘terhormat’.
Editor: Agung

