
Oleh Rosadi Jamani
TIGA hari ini, publik ramai membicarakan sosok pemberani, dan mantan Satpam. Sosok ini telah mengguyuk atau mengguncang markas polisi. Dialah Syamsul Jahidin, bukan Syamsul yang itu ya. Ini asli Syamsul pemberani. Mari kita kenalan sama sosok patriot ini sambil seruput Koptagul, wak!
Namanya, dari lahir memang Syamsul Jahidin. Ia bukanlah dari akademi kepolisian, bukan dari barisan keluarga ningrat, melainkan dari pos satpam. Tempat paling jujur untuk belajar tentang negara, menjaga pintu, melihat siapa yang masuk, siapa yang keluar, dan siapa yang pura-pura tidak salah padahal jelas salah.
Syamsul lahir di Pangesangan, Mataram, NTB. Tempat itu mungkin tak banyak disebut dalam rapat kabinet, tapi dari sanalah lahir anak muda yang kelak mengguncang birokrasi negara. Orang lain di usia 20-an sibuk tampil estetis di Instagram, Syamsul justru kuliah sambil jaga pintu demi membiayai mimpinya. Ketika teman-temannya pamer OOTD, Syamsul pamer shift malam. Ironisnya, justru shift malam itulah yang melatih keberaniannya. Keberanian yang kelak membuat 4.351 polisi harus kembali ke markas.
Pendidikan Syamsul tidak main-main. S1 Komunikasi, S1 Hukum, S2 Komunikasi, Magister Hukum Militer, dan kini sedang S3 Hukum. Deretan gelar ini membuat sebagian orang bingung, “Ini orang belajar atau mau buka warung akademik?” Tapi bagi Syamsul, ilmu itu bukan pajangan. Ilmu adalah peluru. Ia menembakkannya langsung ke jantung undang-undang yang dianggapnya bermasalah, UU Polri.
Ketika ribuan polisi aktif duduk manis di jabatan sipil, dari kementerian sampai BUMN, kebanyakan orang hanya menghela napas. Tapi Syamsul mengangkat alis, lalu mengangkat gugatan. Ia bertanya hal paling tabu di republik ini, “Kenapa polisi boleh rangkap jabatan, tapi rakyat biasa dilarang rangkap kerja?”
Pertanyaan sederhana itu menggema sampai ke Mahkamah Konstitusi. MK pun mengetok palu seperti menghentak meja birokrasi yang terlalu nyaman,n“Polisi tidak boleh rangkap jabatan! Kembalilah ke markas!”
Seketika, 4.351 polisi yang sebelumnya berkeliaran di ruang-ruang rapat kementerian mendadak seperti anak magang yang dipanggil pulang lebih awal. Jabatan sipil kosong. Tanda tangan macet. Kop surat bingung mau ditujukan ke siapa. Semuanya berawal dari tangan seorang mantan satpam bernama Syamsul Jahidin.
Karier hukum Syamsul memang tak biasa. Ia pernah menggugat pangkat tituler Letkol Deddy Corbuzier. Ia membela bayi tertukar. Ia menjadi mediator di lima pengadilan. Ia advokat, tapi juga filsuf jalanan yang memahami bahwa kadang hukum perlu diketuk lewat humor dan keberanian.
Mottonya, “Berani, benar, berhasil,” bukan sekadar pajangan di bio media sosial. Ia hidup dari itu. Dari keberanian itulah, satu orang tanpa seragam mampu menegur institusi paling berseragam di negeri ini.
Ironinya, Syamsul yang dulu menjaga pintu kini menjaga konstitusi. Ia tahu kapan harus mengizinkan sesuatu masuk, kapan harus menolaknya. Ia mungkin tidak punya bintang di pundak, tapi jelas punya nyali yang bersinar lebih terang dari lampu rotator.
Ketika sejarah bangsa ditulis ulang nanti, ada satu paragraf kecil yang pasti akan dikenang, seorang satpam dari Mataram pernah mengguncang 4.351 polisi hanya dengan pena, logika, dan keberanian.
Di republik yang sering lelah oleh drama kekuasaan, nama Syamsul Jahidin hadir seperti alarm yang menyadarkan kita bahwa keberanian tidak butuh pangkat, hanya butuh tekad.
Tak kasih pantun ya, wak.
Ke kota Mataram beli kopi wangi,
Langkah kecilnya kini mengguncang negeri.
Satpam berani menggugat pasal yang sunyi,
Namanya terangkat tegak membela konstitusi.
Pagi cerah burung pun bernyanyi,
Ribuan polisi kembali ke markas sendiri.
Syamsul maju tanpa rasa gentar di hati,
Satu pena menampar sistem yang lama berdiri.
Di depan gerbang tampak penjaga berdiri,
Tegas menjaga aturan tanpa pernah lari.
Syamsul menantang kuasa yang bergigi,
Karena benar itu berani, dan berani itu berarti.
Foto Ai hanya ilustrasi
#camanewak
Penulis adalah Ketua Satupena Kalbar

