Prabowo Mudahkan, Bahlil Justru Perketat: Tambang Rakyat Keluhkan Beban Berat

Ilustrasi Tambang Rakyat. (Foto: ANTARA)

J5NEWSROOM.COM, Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto menyatakan dukungan kuat terhadap tambang rakyat, sebagai bagian dari upaya pemerataan ekonomi dan pengurangan ketergantungan pada tambang ilegal. Namun, kebijakan teknis yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM di bawah Menteri Bahlil Lahadalia justru dianggap memberatkan pelaku tambang kecil.

Regulasi baru (Permen ESDM Nomor 18 Tahun 2025) membatasi izin pertambangan rakyat hanya maksimal 5 hektare untuk penambang perseorangan dan 10 hektare untuk koperasi. Batasan ini dirasa sempit dibandingkan dengan beban biaya administratif, operasional, dan standar teknis yang harus dipenuhi.

Pemegang Izin Pertambangan Rakyat (IPR) diwajibkan menyetor jaminan reklamasi sebesar 10 persen dari setiap pendapatan penjualan mineral ke rekening pemerintah daerah. Dana ini dibayarkan di muka dan likuiditas penambang kecil pun tergerus. Pencairan jaminan reklamasi hanya bisa dilakukan setelah penambang menyelesaikan semua kewajiban reklamasi, yang sering kali butuh waktu dan biaya tinggi.

Selain itu, risiko kehilangan izin menghantui para penambang rakyat. izin bisa dicabut jika kegiatan penambangan dianggap melanggar ketentuan atau lingkungan, bahkan jika masalahnya administratif. Pada saat yang sama, penambang yang berstatus IPR tetap harus memenuhi kewajiban finansial meskipun izin dicabut, dan potensi pidana bisa muncul dari pelanggaran-peraturan yang bersifat administratif.

Para pemilik tambang kecil mengkritik regulasi tersebut karena meski usaha mereka tergolong mikro, mereka diperlakukan dengan standar seperti perusahaan tambang besar. Kondisi ini dinilai kontraproduktif dengan semangat kebijakan Prabowo yang ingin memberdayakan tambang rakyat.

Pengamat menilai bila tidak ada revisi atau kelonggaran terhadap regulasi teknis, kebijakan Bahlil bisa menutup akses ekonomi bagi masyarakat lokal yang bergantung pada pertambangan tradisional. Kompetisi regulasi yang timpang ini bisa menimbulkan ketegangan antara visi presiden dan implementasi kebijakan menteri.

Editor: Agung