Ahli Pers Kepri Ingatkan Wartawan Jaga Integritas: Jurnalistik Bukan Ruang untuk Niat Buruk

Ahli Pers Dewan Pers Saibansah Dardani bersama Ketua Dewan Pers Prof. Komaruddin Hidayat. (Foto: PWI Kepri)

J5NEWSROOMw.COM, Batam – Profesi wartawan sejatinya adalah lentera tugasnya menerangi ruang publik, bukan menambah gelap dengan kepentingan pribadi. Namun akhir-akhir ini, lentera itu terasa meredup. Di tengah derasnya arus informasi yang bergerak lebih cepat dari angin, muncul kegelisahan baru sebagian kecil oknum telah menodai kredibilitas pers dengan niat buruk yang merusak fondasi kerja jurnalistik.

Kegelisahan itu pula yang mendorong Ahli Pers Dewan Pers Kepulauan Riau, Saibansah Dardani, angkat suara. Bersama Ketua Dewan Pers Prof. Komaruddin Hidayat, ia mengingatkan bahwa integritas tidak bisa dinegosiasikan dalam dunia pemberitaan.

“Wartawan Indonesia jelas dilarang menulis berita dengan niat buruk. Ini diatur dalam Kode Etik Jurnalistik Pasal 1,” tegas Saibansah, mengutip salah satu rukun utama profesi pers, kejujuran niat.

Ketika Pena Dipakai Menyerang Pribadi

Menurut Saibansah, salah satu penyakit yang menggerogoti ruang redaksi belakangan ini adalah penggunaan media sebagai alat serang. Ada pihak yang mempublikasikan berita dengan tujuan menggiring opini, membunuh karakter seseorang, bahkan menekan institusi tertentu.

“Jangankan membuat berita jelek, punya niat membuat berita demi kepentingan pribadi itu sudah salah,” ujar Saibansah. Niat buruk saja sudah keliru apalagi tindakan yang menjurus pada fitnah.

Ia menegaskan, Kode Etik Jurnalistik Pasal 3 secara eksplisit melarang wartawan menyerang kehormatan pribadi tanpa konfirmasi. Jurnalisme lahir dari verifikasi, bukan asumsi. Dari fakta, bukan dendam.

Profesionalisme, Baju Besi Wartawan

Saibansah juga menegaskan bahwa wartawan harus bersandar pada tiga pilar UU Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan Peraturan Dewan Pers. Ketiganya bukan sekadar aturan, tetapi pagar moral yang menjaga wartawan tetap berada di jalan terang.

“Ini koridor panduan kita,” katanya, menekankan bahwa perlindungan hukum bagi wartawan hanya berlaku bagi mereka yang bekerja sesuai standar profesional.

Wartawan yang mengabaikan etika ibarat berjalan tanpa tameng. Ketika terjadi masalah, Dewan Pers pun tak bisa memberikan perlindungan.

Fenomena Takedown Berita untuk Memeras

Lebih jauh, Saibansah mengungkap adanya oknum yang menjadikan profesi wartawan sebagai alat pemerasan. Caranya membuat berita buruk untuk menekan narasumber, lalu menawarkan penghapusan berita “alias takedown” dengan imbalan tertentu.

Ia menegaskan dengan keras
“Dewan Pers melarang takedown berita. Karena berita yang sudah dipublikasikan itu hak masyarakat.”

Satu-satunya pengecualian hanyalah berita yang berpotensi mengancam keamanan negara.

Jurnalisme Bukan Pasar Gelap

Peringatan ini datang bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk mengingatkan bahwa profesi wartawan memikul kehormatan yang besar. Wartawan adalah penjaga nalar publik, pengawal demokrasi, dan penuntun masyarakat memahami realitas.

Mengotori profesi dengan niat buruk sama saja mencelakai publik yang dilayani.

Di era ketika hoaks berlari lebih cepat dari fakta, suara seperti milik Saibansah diperlukan suara yang mengingatkan bahwa wartawan harus lebih terang dari berita yang ia tulis, lebih jernih dari kata yang ia rangkai, dan lebih tulus daripada kepentingan yang mungkin menggodanya.

Karena ketika pena wartawan kehilangan niat baiknya, sesungguhnya yang hilang bukan hanya berita, tetapi kepercayaan publik.

Dan kepercayaan sekali retak tidak bisa takedown lalu dipasang ulang.

Editor: Agung