
Oleh Widdiya Permata Sari
FENOMENA perundungan, baik verbal maupun nonverbal, hari ini telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Ia bukan sekadar kenakalan, melainkan tindakan keji yang menimbulkan luka emosional mendalam dan berpotensi mendorong korban pada tindakan berbahaya, sebagaimana dicontohkan oleh kasus tragis pembakaran asrama pesantren dan ledakan yang melibatkan siswa korban bullying di Jakarta. Ironisnya, tindakan merendahkan ini bahkan cenderung dinormalisasi di lingkungan pendidikan dan media sosial, menunjukkan runtuhnya fungsi pendidikan dalam membentuk karakter dan adab.
Ledakan terjadi di SMAN 72 Jakarta di Kelapa Gading, Jakarta Utara, Jumat (7/11/2025). Ledakan ini mengakibatkan sedikitnya 54 korban luka ringan dan sedang. Terduga pelakunya adalah siswa. Dendam perundungan yang dialami pelaku disebut memicu aksi ledakan. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Daerah, Aris Adi Leksono, menuturkan, potensi terjadinya kekerasan di dalam sekolah sangat besar.
Dari gejala motif dan penyebab ledakan, insiden yang terjadi di SMAN 72 Kelapa Gading ini membuka fenomena perundungan siswa di lembaga pendidikan. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat, pada 2024 terjadi 573 kasus di lingkungan sekolah. Dua kasus terbanyak ialah kekerasan seksual (42 persen) dan perundungan (31 persen).
(Kompas.id, 8/11/2025).
Salah satu akar masalah terbesar terletak pada kegagalan sistem sekuler-kapitalis yang diterapkan saat ini. Sistem ini mengagungkan kebebasan tanpa batas dan berfokus semata pada aspek materiil, mengabaikan pembentukan kepribadian dan moral. Dalam logika ini, kehormatan dan harga diri diukur dari popularitas, fisik, dan status sosial. Pola pikir “yang kuat mendominasi yang lemah” ini telah meracuni dunia remaja dan sekolah, menjadikan bullying sebagai manifestasi dari krisis moral yang terlembaga.
Di sisi lain, faktor keluarga yang tidak harmonis, minim pengawasan, dan ketiadaan figur pelindung, turut menjadikan anak rentan dan mudah mencari pelarian negatif di luar rumah.
Islam memandang perundungan sebagai perbuatan tercela dan kezaliman sosial yang wajib diberantas. Allah SWT berfirman dalam QS Al-Hujurat ayat 11 yang secara tegas melarang umat-Nya untuk saling mengolok-olok, mencela, dan memanggil dengan gelar buruk, menekankan pentingnya menjaga kehormatan sesama manusia.
Solusi untuk mengatasi wabah perundungan harus bersifat menyeluruh, mencakup tiga pilar utama:
1. Pilar Keluarga (Al-Madrasah Al-Ula)
Pendidikan Berbasis Akidah: Keluarga adalah madrasah pertama. Kewajiban orang tua bukan hanya memenuhi kebutuhan fisik, tetapi juga mendidik, mengarahkan, dan melindungi anak dengan pondasi akidah Islam yang kuat sejak dini. Pendidikan moral berbasis akidah akan memberikan anak landasan moral yang tangguh saat memasuki masa remaja.
2. Pilar Pendidikan dan Media
Pendidikan Karakter Islam: Institusi pendidikan harus kembali pada fungsi utamanya, yaitu membentuk karakter (adab), bukan sekadar transfer ilmu materi. Pendidikan harus berbasis akidah agar melahirkan pribadi yang bertakwa dan menjunjung tinggi solidaritas serta kasih sayang.
Pengaturan Media: Negara wajib mengatur media agar konten-konten yang menormalisasi kekerasan atau merusak mental anak tidak beredar luas.
3. Pilar Negara dan Penerapan Hukum
Jaminan Kehormatan Warga: Negara berkewajiban untuk menjaga jiwa dan kehormatan seluruh warganya. Ini mencakup penegakan hukum yang tidak pandang bulu.*
Penulis adalah Komunitas Gen Hijrah Batam

