
Oleh Rosadi Jamani
JANJI demi janji terus diumbar Raja Juli Antoni. Sebelumnya ia berjanji akan mengevaluasi habis-habisan perusahaan yang membabat hutan. Kali ini, di hadapan wakil rakyat di Senayan, sang Raja berjanji mencabut Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) 20 perusahaan. Cuma, nama perusahaan masih dirahasiakannya. Simak narasinya sambil seruput Koptagul, wak!
Update terkini, sudah 780 tewas, 564 hilang, 2.600 luka. Semua ini bukan lagi “bencana alam”. Tak ada lagi gunung yang tiba-tiba marah, atau sungai yang mendadak beringas. Yang ada hanyalah Bencana Tanda Tangan, musibah yang lahir dari kertas, pena, dan keberanian untuk mengesahkan sesuatu tanpa membaca akibatnya.
Menhut Raja Juli Antoni datang ke DPR dengan wajah yang mencoba menirukan empati. Ia membawa kalimat-kalimat berkabung yang terdengar seperti brosur seminar lingkungan hidup. Investigasi, indikasi, subjek hukum, dan 12 lokasi yang katanya “sudah ditemukan”. Tapi seperti biasa, nama-nama perusahaan itu masih dirahasiakan. Mungkin karena malu, atau mungkin karena namanya terlalu panjang sehingga memerlukan jeda komersial.
Raja Juli bicara seakan kita semua tidak tahu, truk raksasa bermuatan kayu diameter satu setengah meter itu lewat dua hari setelah banjir menggulung Aceh, Sumut, dan Sumbar. Seakan rakyat buta warna sehingga tak bisa membedakan cokelat kayu dan cokelat lumpur. Seakan kamera warga itu hanya isapan jempol, bukan Google Earth versi rakyat miskin yang sedang frustrasi.
Titiek Soeharto, yang entah sedang jadi anggota DPR atau cameo superhero, berdiri marah sambil menuntut jawaban. Ia menunjukkan video truk kayu itu, seolah berkata, “Pak Menteri, ini bukan film fiksi. Ini bukan CGI. Ini bukan trailer Gundala 2.” Benar saja, gambar itu lebih menyakitkan dari adegan sinetron ketika ibu tiri menampar anak tirinya. Kayu besar lewat, korban masih hilang, air mata warga belum kering, dan negara diam seperti patung sedang dinas.
Lalu muncullah janji. Selalu, selalu ada janji. PBPH akan dicabut. Ada 20 perusahaan akan “dievaluasi”. 750 ribu hektare akan “diamankan”. Semua menunggu “persetujuan Presiden”. Oh betapa sakralnya satu tanda tangan, seolah-olah itu adalah surat rekomendasi menuju surga.
Ironi terbesar negeri ini adalah, yang menebang pohon bergerak cepat, tapi yang menghentikannya menunggu rapat kerja.
Padahal pepohonan yang ditebas itu bukan cuma kayu. Itu payung raksasa yang selama ratusan tahun menahan tanah agar tak longsor. Itu paru-paru yang menyaring udara untuk napas para pejabat yang sibuk berdebat. Itu pagar alam yang menjaga sungai agar tidak berubah jadi naga lumpur yang menelan desa-desa.
Ketika truk kayu itu melintas dengan gagah, seolah mengejek rakyat, seolah berkata, “Kami bebas, karena izin kami ditandatangani manusia. Bencana kalian juga ditandatangani manusia.”
BNPB terus memperbarui angka korban setiap hari. Seperti penghitung skor di pertandingan tragedi. Hujan ekstrem akibat siklon tropis Senyar ikut menyumbang luka, tapi penyebab utamanya tetap sama, pohon yang hilang, wilayah yang botak, dan keserakahan yang diberkahi legalitas.
Kini Presiden meninjau lokasi, Wapres ikut, bantuan mengalir, dapur umum dibuka, jalur evakuasi diperbaiki, rakyat saling membantu, semua terlihat heroik. Tapi bukankah ini selalu pola yang sama? Negara menunggu rakyat tenggelam dulu, baru mencari siapa yang patut dipersalahkan.
Rakyat tidak butuh janji yang menunggu tanda tangan. Rakyat butuh hutan yang tetap tegak, sungai yang tetap jinak, dan pejabat yang tidak hanya mengucapkan empati dengan gaya seminar.
Bencana Tanda Tangan ini adalah rapor merah bagi negeri yang sibuk menebang masa depan demi memanen keuntungan hari ini. Ketika Raja Juli berkata ia siap menindak siapa pun, rakyat pun hanya bisa berharap, bukan percaya. Karena harapan itu gratis, sedangkan kepercayaan sudah longsor bersama tanah yang hilang.
Pada akhirnya, tragedi ini mengajarkan satu hal, pohon yang ditebang bisa tumbuh lagi puluhan tahun kemudian. Tapi kepercayaan pada janji Menhut? Itu bahkan belum pernah tumbuh sejak awal.*
#camanewak
Penulis adalah Ketua Satupena Kalbar

