
J5NEWSROOM.COM, Natuna – Di Jalan Ulu Timur, RT 02/RT 03, Desa Kelarik Utara, Kecamatan Bunguran Utara, sebuah lahan bersertifikat hak milik mendadak kehilangan identitasnya. Bukan karena bencana alam, melainkan karena aktivitas tambang. Tanah kering seluas 11.966 meter persegi (±1,2 hektare) kini berubah rupa menjadi alur sungai buatan, lengkap dengan bendungan dan instalasi pencucian pasir.
Ironisnya, lahan tersebut bukan milik perusahaan, melainkan milik warga lokal dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) sah, terdaftar melalui NIB 3204 00 21680. Namun sejak akhir 2023, lahan itu dikuasai dan digunakan sepihak oleh PT Multi Mineral Indonesia (PT MMI) perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan pasir kuarsa.
Dipakai Dulu, Dibebaskan entah Kapan
Kuasa hukum pemilik tanah Muhajirin, S.H menegaskan, kliennya tidak pernah memberikan izin, tidak pernah menyewakan, apalagi menjual lahan tersebut. Namun alat berat tetap bekerja. Pasir dikeruk, tanah dibendung, air dialirkan. Lokasi diduga kuat digunakan sebagai washing plant (unit pencucian pasir) sebelum material dikirim.
Padahal, secara hukum, IUP (Izin Usaha Pertambangan) tidak otomatis memberi hak menguasai tanah.
Pasal 135 UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba secara tegas menyebutkan:
Pemegang IUP wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sebelum melakukan kegiatan usaha pertambangan.
Artinya, lahan harus dibebaskan terlebih dahulu, bukan dipakai dulu sambil mencari pembenaran.
Somasi Tak Digubris, Laporan Polisi Meluncur
Merasa haknya diinjak, pada 2 November 2025, Kantor Hukum Muhajirin & Rekan yang dikuasakan melayangkan somasi resmi kepada Direktur PT MMI. Intinya satu, hentikan kegiatan dan selesaikan hak klien.
Jawaban memang datang. Namun substansinya justru menambah keruh persoalan. PT MMI mengklaim, mereka telah berkoordinasi dengan Pemerintah Desa Kelarik Utara. Bertemu Kepala Desa, perangkat desa dan mendapat informasi bahwa lahan tersebut tidak memiliki surat kepemilikan.
Sebuah klaim yang menimbulkan tanda tanya besar. “Jika tanah itu berada di wilayah desa, mengapa pemerintah desa tidak mengetahui adanya SHM? Jika tidak bersurat, bagaimana mungkin terbit NIB dan SHM?, sekarang sudah terang benderang bahwa tanah tersebut ada pemilik yang sah, cepatlah selesaikan hak orang yang telah diambil” tegas Muhajirin.
Pertanyaan ini menjadi benang merah konflik, sekaligus sorotan serius terhadap fungsi administrasi desa.
Izin Desa Mengalahkan Sertifikat Negara?
Dalam jawabannya, PT MMI menyatakan kegiatan dilakukan atas izin dan sepengetahuan pemerintah desa. Namun secara hukum Kepala desa tidak memiliki kewenangan mengizinkan penggunaan tanah hak milik bersertifikat,
Pasal 19 UUPA (UU No. 5 Tahun 1960) menjamin kepastian hukum atas tanah melalui sertifikat,
Pasal 32 PP No. 24 Tahun 1997 menegaskan sertifikat sebagai alat bukti kuat.
Dengan kata lain, izin lisan desa tidak dapat mengalahkan SHM yang diterbitkan negara.
Alasan Koordinat Berbeda
PT MMI juga berdalih belum dapat melakukan pembebasan lahan karena lokasi dalam sertifikat disebut tidak sesuai dengan titik koordinat di lapangan.
Namun dalih ini justru membuka kemungkinan lain, jika ada sengketa batas, verifikasi seharusnya dilakukan sebelum aktivitas tambang, bukan setelah lahan berubah fungsi dan nilai ekonominya diambil.
Potensi Pelanggaran Berlapis
Kuasa hukum pemilik tanah Muhajirin, S.H memaparkan, kasus ini berpotensi menyentuh sejumlah ketentuan hukum, antara lain:
- Pasal 385 KUHP – Penguasaan tanah tanpa hak
- UU Minerba – Kegiatan tambang tanpa penyelesaian hak atas tanah
- UU No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup – Perubahan bentang alam tanpa izin lingkungan
- Tipikor atau Tipiter, bila ditemukan penyalahgunaan kewenangan atau pembiaran oleh aparat desa
Laporan Polisi, minta segera usut tuntas
Karena tak ada penyelesaian, pada 19 November 2025 kuasa hukum resmi melaporkan perkara ini ke Polres Natuna dengan LP Nomor: LP/B/41/XI/2025/SPKT/Polres Natuna/Polda Kepri.
Penyidik telah memeriksa pelapor dan menjanjikan pengecekan lapangan, namun hingga kini Belum ada turun lokasi. SP2HP baru terbit satu kali, serta menjelaskan penanganan dilakukan oleh Unit II.
Publik masih menunggu gerak cepat aparat hukum untuk hadir, bukan sekadar hanya mencatat. Sudah saatnya hak-hak warga dituntaskan dengan adil.
Direktur PT MMI: “No Comment”
Sementara itu, saat dimintai klarifikasi melalui pesan WhatsApp, Direktur PT MMI, Ady Indra Pawennari, memilih irit kata, “Maaf, saya no comment.” tulisnya.
Kasus ini bukan sekadar konflik lahan. Ini soal kepastian hukum, martabat sertifikat negara, dan perlindungan warga lokal dari ekspansi industri.
Bersambung.
Editor: Agung

