
Oleh Juragan Erwan
KEMBALI kita disuguhi tulisan AQUA DWIPAYANA yang menarik. Tulisan tentang perjalanannya dari Jayapura ke Biak dengan pesawat CN-295 TNI AU.
Tulisan yang diberi judul “Dahsyatnya Silaturahim, Naik Pesawat CN-295 TNI Angkatan Udara dari Jayapura ke Biak“ ini bukan sekadar kisah perjalanan logistik yang “beruntung”. Ia adalah dokumentasi hidup tentang bagaimana silaturahim bekerja sebagai infrastruktur sosial halus, manusiawi, namun sangat efektif.
Di tangan seorang AQUA, silaturahim tidak diperlakukan sebagai transaksi kepentingan, melainkan sebagai relasi jangka panjang yang dipelihara dengan kesadaran dan keikhlasan.
Hadir sebagai Manusia
Pola komunikasi AQUA sejak awal memperlihatkan prinsip dasar silaturahim: hadir lebih dulu sebagai manusia, bukan sebagai pemohon. Ia mengontak Marsma TNI Mokh Mukhson bukan untuk meminta tumpangan pesawat, melainkan untuk menanyakan kabar dan menyampaikan niat bersilaturahim.
Permintaan bantuan justru datang belakangan, setelah relasi emosional dan kepercayaan sosial diteguhkan. Ini penting, karena dalam komunikasi relasional, permintaan yang datang tanpa kehadiran personal sering kali terasa instrumental.
AQUA memahami betul bahwa silaturahim adalah proses kumulatif. Hubungannya dengan Mukhson, Trinanda Hasan Febrianto, hingga Jajang Setiawan bukan relasi instan. Ia dibangun sejak lama, dirawat lintas waktu dan jabatan.
Ketika seseorang berpindah posisi, hubungan tidak ikut selesai. Di sinilah letak perbedaan mendasar antara “jaringan kepentingan” dan “jaringan silaturahim”. Yang pertama aktif saat dibutuhkan, yang kedua hidup bahkan saat tidak ada kebutuhan apa pun.
Pola komunikasi AQUA juga memperlihatkan etika kerendahan hati yang konsisten. Ia berulang kali menggunakan diksi “mohon izin”, “mohon waktu”, dan “terima kasih”. Bahasa ini bukan basa-basi, melainkan ekspresi penghormatan terhadap otoritas, waktu, dan peran orang lain.
Dalam konteks komunikasi organisasi—terlebih di lingkungan militer—bahasa hormat seperti ini menjadi kunci pembuka kepercayaan. AQUA tidak pernah menempatkan dirinya lebih tinggi, meski secara sosial ia dikenal luas.
Menariknya, bantuan yang diterima AQUA bukan hasil satu pintu komunikasi, melainkan resonansi silaturahim kolektif. Kapoksahli Kodau III, Irkodau III, pilot, hingga kru pesawat terlibat bukan karena instruksi kaku, melainkan karena ada kepercayaan personal terhadap figur AQUA.
Ini menunjukkan satu hal penting: silaturahim yang autentik menciptakan efek berantai. Ketika seseorang dipercaya secara personal, kepercayaan itu menular ke jejaringnya.
Sikap Batin
Aspek lain yang menonjol adalah kemampuan AQUA mengapresiasi proses, bukan hanya hasil. Ia menyebut nama satu per satu, menyampaikan rasa syukur, bahkan mengapresiasi kru pesawat dan kopilot.
Dalam komunikasi, pengakuan personal seperti ini memperkuat ikatan psikologis. Orang merasa dilihat, dihargai, dan diingat. Ini bukan teknik komunikasi semata, melainkan sikap batin yang konsisten.
Dimensi spiritual juga menjadi ciri khas komunikasi AQUA. Ungkapan “MasyaALLAH”, “InsyaALLAH”, dan rasa syukur yang berulang bukan sekadar ekspresi religius, tetapi penanda orientasi makna. AQUA memposisikan silaturahim bukan sebagai kecerdikan sosial, melainkan sebagai bagian dari etika hidup.
Dengan begitu, relasi yang terbangun tidak sarat beban moral, karena tidak didorong oleh rasa “hutang budi”, melainkan kebersamaan dalam kebaikan.
Paham Sistem
Yang sering luput dibaca, perjalanan ini juga memperlihatkan kecakapan AQUA memahami sistem. Ia tidak memaksa kehendak, tidak memotong prosedur, dan tidak menempatkan dirinya sebagai pengecualian.
Ia meminta izin, menunggu kepastian cuaca, dan menerima kemungkinan perubahan jadwal. Silaturahim di sini tidak menabrak sistem, tetapi berjalan selaras dengannya. Inilah bentuk silaturahim dewasa: relasi manusiawi yang menghormati tata kelola.
Puncak dari pola komunikasi AQUA terlihat pada penutup tulisannya. Ia tidak mengklaim keberhasilan sebagai kecakapan pribadi. Ia mengembalikan semuanya pada Tuhan dan mengajak pembaca mengoptimalkan silaturahim dalam kehidupan.
Pesan ini konsisten dengan praktik yang ia jalani: memberi sebelum meminta, hadir sebelum membutuhkan, dan merawat hubungan tanpa agenda tersembunyi.
Dari kisah ini, jelas bahwa “Master of Silaturahim” bukan gelar simbolik. Ia lahir dari praktik komunikasi yang sabar, rendah hati, dan berjangka panjang.
Di tengah dunia yang serba transaksional, AQUA menawarkan pelajaran penting: kemudahan hidup sering kali bukan hasil kecerdasan teknis, melainkan buah dari hubungan manusia yang dijaga dengan tulus.
Silaturahim, dalam narasi AQUA, bukan shortcut. Ia adalah jalan panjang. Dan justru karena itu, silaturahim bekerja.
Bagaimana menurut Anda?
Penulis adalah jurnalis, Pendamping Desa Wisata.

