Falcon dan Madah Kemanusiaan

Danlanud TNI AU Hang Nadim Batam, Letkol Pnb Hendro Sukamdani, M.Tr. Opsla berswafoto dengan wartawan. (Foto: Andine/Antara)

Catatan Khas Ketua PWI Batam, M.A Khafi. A

J5NEWSROOM.COM, Batam – Senin, 15 Desember 2025. Langit Batam siang itu biasa saja. Tak ada awan dramatis, tak ada tanda cuaca berubah. Yang berubah justru saya atau lebih tepatnya, sikap saya yang barangkali membuat Romi Chandra, sahabat dari sahabat-sahabat yang punya segudang rasa sayang kepada saya, menahan kesal di dadanya.

Waktu hampir tengah hari ketika saya, Romi, Pelaksana Tugas Sekretaris PWI Batam, dan Bang Deni Risman, pengurus PWI Pusat yang berdomisili di Batam, tiba di Komplek Superblok Imperium Blok B Nomor 26. Di sanalah PWI Batam berkantor: sederhana, namun sarat cerita, perdebatan, dan kerja sunyi yang jarang tercatat.

Dari balik meja tempat Romi ber-sekertaris-ria, saya mendengar kalimat yang ia ulang beberapa kali, seperti isyarat darurat di menara kontrol.

“Bang, Danlanud semalam telepon. Beliau minta kita gelar lomba karya tulis jurnalistik.”

Saya menjawab sekenanya.
“Terserah kamu, Rom.”
Lalu kembali terlelap di sofa. Kantuk kelas berat menyerang tanpa kompromi.

Romi dan Bang Deni bekerja. Proposal disusun. Malamnya, proposal dikirim. Belum rampung saya membacanya, pesan berikutnya masuk: Danlanud menyetujui dengan satu kategori tambahan: konten digital. Esok paginya, rilis disebar.

Jumat 18 Desember, dua Falcon menari di langit Batam, menebar pesona flare di udara Batam. Kata-kata mulai ditangkap para pemahat peristiwa, dirangkai menjadi narasi, lalu dilipat rapi dalam bingkai feature untuk dilombakan.

Tanggal 23 Desember, senyum para pemenang merekah di Pangkalan TNI AU Hang Nadim. Mereka pulang membawa piagam dan uang pembinaan. Lomba Karya Tulis Jurnalistik dan Konten Digital TNI AU Hang Nadim – PWI Batam sukses.

Selesai? Belum.

Romi bergegas pulang, berlomba lagi, kali ini dengan waktu dan perabotan. Rumah yang ia huni harus kosong hari itu. Ia pindah ke hunian baru, jaraknya hanya sepelemparan batu. Maklum, gaji wartawan tak lebih parlente dari penampilannya. Dengan penghasilan yang nyaris sama dengan wartawan kebanyakan, ia paham betul kalimat klasik yang kerap diwariskan para senior:

“Kalau mau kaya, jangan jadi wartawan.”

Selasa sore, Romi menghubungi saya. Saya sudah bersiap bila ujung telepon itu berisi omelan tentang rilis pengumuman yang belum dibuat.

“Sudah saya buat, Rom. Barusan saya kirim ke grup,” kata saya.
“Iya, terima kasih, Bang,” jawabnya. Lalu sebuah tugas baru mendarat pelan namun pasti.

“Danlanud tadi telepon. Beliau minta kita buat pameran foto dan karya tulis pemenang lomba kemarin. Besok kita konsep, ya, Bang.”

Sambungan terputus. Suara Romi hilang di udara. Saya diam. Berbicara sendiri. Mencari kata. Menyusun kalimat.

“Ah, rasanya kata-kata di kepala saya belum siap menjadi kalimat. Kurang tepat.”

Pikiran saya lalu mengembara, menukik, menanjak, berputar, seperti Falcon di langit Batam. Hingga pekikan bungsu saya memaksa saya mendarat kembali ke kursi.

Tak banyak yang bisa saya bawa dari awan Selasa sore itu. Hanya sebuah monolog:

Falcon dan Madah Kemanusiaan

Ia adalah mata falcon
tajam menakar jarak, jernih membaca arah.
Sayap pelindung negeri,
sahabat hamparan awan pagi,
pengendali burung bersayap api
yang menyalakan keberanian di langit pengabdian.

Ia komandan langit yang disegani,
penyemangat prajurit-prajurit dirgantara,
penakluk angkasa demi tanah air tercinta.

Di langit ia berkuasa,
di darat ia membumi
menjejak dengan empati, menuntun dengan teladan.

Namun ia tak hanya mengawal cakrawala.
Ia juga merajut kata-kata
yang lama tertinggal di bilik-bilik apatis,
menerbangkan solidaritas
menjadi narasi kemanusiaan
yang kembali menemukan suaranya.
Ia tak pernah ingin mengangkasa sendiri
di langit sohor bernama kuasa.

Dengan hatinya, ia menggandeng
tangan-tangan pemahat peristiwa
yang lalai kepada bagaimana petikan zaman seharusnya ditulis:
jujur, beradab, dan berpihak pada nurani.

Dua Falcon petarung di langit belum cukup.
Panggung ngondo karya kau bentangkan,
agar madah kemanusiaan yang kami tulis
dapat berdiri, didengar, dan dielu-elukan.

Hingga nanti, saat engkau mengangkat sayap,
meninggalkan hanggar kenangan,
lalu mendarat di lanud yang baru
pada langit pengabdian yang tetap sama.

Yang menetap di ingatan langit Batam
pada nama Hendro Sukamdani
adalah kepemimpinan yang berpijak pada keberanian,
pengabdian yang bertumbuh dari kebaikan,
dan kebahagiaan yang lahir dari kesediaan untuk memberi.

Assalamu’alaikum yaa dirgantara.

Saya menempatkan salam assalamu’alaikum yaa dirgantara di akhir tulisan ini karena, bagi saya, salam adalah simpul doa. Bukan sekadar pembuka seremonial. Ia saya lepaskan setelah seluruh kisah dan pengabdian dituturkan, sebagai bentuk hormat kepada langit yang telah dijaga, dan kepada manusia-manusia yang memilih setia melindunginya tanpa perlu selalu disebut namanya.

Catatan khas ini saya tulis sebagai Ketua PWI Batam untuk menjaga ingatan bersama: bahwa kepemimpinan sejati tidak lahir dari ketinggian pangkat semata, melainkan dari keberanian untuk tetap membumi; dari kesediaan menggandeng pers sebagai mitra nurani; serta dari ikhtiar merawat kemanusiaan, bahkan ketika sorot lampu telah dipadamkan dan tepuk tangan usai terdengar.

Dan jika kelak langit Batam kembali menyimpan cerita, semoga ia mengingat satu hal sederhana: bahwa pernah ada masa ketika kekuasaan memilih rendah hati, pers memilih jujur, dan kemanusiaan tidak dibiarkan terbang sendirian.

Di sanalah saya ingin menetap: di antara berita dan keheningan, di antara catatan dan doa.

Batam, 24 Desember 2025

Assalamu’alaikum yaa dirgantara

Penulis adalah Ketua PWI Batam