Oleh L. Nur Salamah, S.Pd
GERAM dan marah. Mungkin dua kata itu dapat mewakili perasaan Masyarakat Melayu yang mendiami Pulau Rempang Kota Batam sejak ratusan tahun lalu. Kekesalan itu diluapkannya melalui aksi demonstrasi di depan Kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam, Senin (11/09/2023).
Hal ini terjadi bukan tanpa sebab. Munculnya konflik Rempang berangkat dari pemerintah yang bersikukuh melanjutkan Proyek Strategis Nasional (PSN) atau Pengembangan proyek Rempang Eco-City, dengan menggusur situs sejarah pulau Rempang dan pemukiman warga Melayu di 16 kampung tua.
Mengapa mereka menolak habis-habisan? Bukankah suatu hal yang wajar? Sejak sebelum Indonesia merdeka, Masyarakat Melayu sudah mendiami wilayah tersebut. Ladang, sawah dan laut adalah milik mereka. Jumlah mereka di 16 titik itu tidak kurang dari 17 ribu. Tiba-tiba atas nama hak negara, kemudian pemerintah membagi-bagikan tanah tersebut, masyarakat akan digusur atau bahasa halusnya direlokasi.
Menurut pernyataan petinggi negara, ini bukan masalah penggusuran. Akan tetapi ini bagian dari hak negara untuk membagi-bagikan tanah kepada investor.
Adapun aksi demonstrasi yang mereka lakukan adalah bagian dari sebuah perjuangan untuk mempertahankan tanah leluhurnya. Namun sayangnya para tokoh-tokoh melayu, para pembesar-pembesar melayu dan para pemangku kebijakan hanya bergeming.
Penjajahan Kian Menjadi-jadi
Belum sebulan, hiruk pikuk perayaan kemerdekaan mewarnai seantero negeri. Akan tetapi apa yang terjadi ini hari? Keindahan dan kekayaan alam Sangihe, Wadas, dan Rempang dalam cengkeraman penjajah (Neo Imperialisme).
Demikianlah wajah asli kapitalisme yang dibangun di atas akidah sekuler. Pemisahan agama dari kehidupan berpolitik dan bernegara. Hampir setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa bukan untuk kemaslahatan rakyatnya. Namun, mereka bekerja dan membuat kebijakan demi kepentingan oligarki atas nama investasi.
Bicara soal investasi, yang memiliki andil tidak lain adalah Cina. Hal ini terbukti bahwa Tomy Winata akan menggarap Mega Proyek Batam senilai 381 trilliun rupiah hingga 2080. Wajar jika banyak pihak yang beranggapan bahwa pembangunan ini terkesan didesak atau disegerakan karena kebutuhan negara akan modal asing untuk membiayai pesta demokrasi 2024 mendatang.
Islam Menyelesaikan Persengketaan
Islam diturunkan Allah SWT sebagai ideologi yakni akidah yang memancarkan segenap aturan yang akan menyelesaikan berbagai problematika kehidupan termasuk masalah lahan atau tanah. Termasuk perihal menghidupkan tanah mati.
Tanah mati adalah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh seorang pun. Lantas, yang dimaksudkan dengan menghidupkan tanah mati adalah mengolahnya, menanaminya, atau mendirikan bangunan di atasnya.
Dengan kata lain, menghidupkan tanah mati adalah memanfaatkan dengan cara apapun yang menjadikan tanah tersebut hidup. Usaha seseorang untuk menghidupkan tanah mati telah cukup menjadikan tanah tersebut miliknya. Sebagaimana Sabda Nabi SAW yang artinya, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya”. (HR al-Bukhari, dari penuturan Umar bin al-Khatab).
Kemudian disebutkan dalam riwayat yang lain bahwa, “Siapa saja yang lebih dulu sampai pada sesuatu (sebidang tanah) sementara tidak ada seorang Muslim pun sebelumnya yang sampai padanya, maka sesuatu itu menjadi miliknya”. (HR Thabrani, dalam Al-Kabir).
Hadits di atas sangat jelas bahwa suku Melayu yang telah menghuni wilayah tersebut sejak tahun 1834. Seharusnya tanah itu adalah milik mereka. Sayangnya, sistem yang diterapkan saat ini bukanlah Islam, maka Masyarakat Melayu harus berdarah-darah menjadi tumbal kapitalisme yang meniscayakan kezaliman dan penindasan. Sekuat dan sebanyak apapun, mereka tak punya kuasa.
Oleh karenanya, jika menghendaki tatanan kehidupan yang adil dan sejahtera, tidak ada cara lain kecuali dengan berjuang menyadarkan umat bahwa hanya Islam satu-satunya solusi tunggal atas berbagai problematika.
WaAllahu’alam.*
Penulis adalah Pengasuh Kajian Mutiara Ummat Batam