Derbi Hendry-Atal Berebut Kursi Ketua Umum PWI

Tiga kandidat Ketua PWI Pusat, Hendri Ch Bangun (kanan), Atal S Depari (tengah) dan Zulmansyah. (Foto: Net)

Oleh M. Syahrir

USAI sudah proses demokrasi di organisasi profesi wartawan terbesar dan tertua di negeri ini. Giliran Kota Bandung  menjadi saksi sejarah bergulirnya estafet kepemimpinan di Persatuan Wartawan Indonesia  (PWI) yang digelar melalui Kongres XXV tahun 2023.

Hendri Ch Bangun akhirnya dipercaya menakhodai PWI untuk 5 tahun kedepan setelah mengalahkan Atal S Depari (incumbent) dengan skor dukungan 41-47 suara.

Laga final Hendry-Atal ibarat derbi dalam istilah olahraga. Keduanya berasal dari Sumatera Utara dan sama-sama bersuku Karo. Serunya lagi keduanya malah pernah bertarung dalam Kongres PWI XXIV tahun 2018 di Solo dan dimenangkan Atal dengan skor 38-35. Atal pun diberi amanah  memimpin PWI untuk masa bakti 2018-2023.  

Dalam Kongres Bandung Hendry melakukan revans, apalagi selisih suara Kongres Solo cukup tipis hanya 3 suara, dan di Kongres Bandung Hendry mampu mendulang selisih 6 suara. Apakah Atal akan melakukan revans 5 tahun kedepan? Wallahualam, semua kemungkinan bisa saja terjadi.

Pertarungan derbi Hendry-Atal di Kongres Bandung cukup menarik dengan munculnya Zulmansyah Sekedang, Ketua PWI Riau tokoh muda yang gagah berani menawarkan program Hebat untuk kemajuan PWI sebagai calon Ketua Umum.

Walaupun hanya tampil dalam kontestasi putaran pertama dan meraih 9 suara, namun Zulmansyah menjadi kunci kemenangan Hendry.

Di putaran pertama, Hendry meraih 39 suara dan Atal 40 suara dari 88 suara yang diperebutkan.  Dikarenakan tak satupun calon melewati batas ambang minimal ½ N + 1 dilanjutkan ke putaran kedua, dan disinilah pertandingan derbi itu  terulang lagi.  

Lobi-lobi tingkat tinggi pun berlangsung spontan dengan pertimbangan subjektif dan objektif, bahkan rasional dan irasional.

Dalam proses waktu yang sempit, 8 suara pendukung Zulmansyah beralih ke Hendry Bangun, sementara Atal Depari hanya mampu menambah 1 suara. Alhasil total suara Hendry 39 + 8 = 47 suara, sementara Atal 40 + 1 = 41 suara.

Dan klop, PWI memiliki nakhoda baru Hendry Ch Bangun untuk masa bakti 2023-2028, sementara Sasongko Tedjo secara aklamasi didaulat sebagai Ketua Dewan Kehormatan (DK) PWI untuk masa bakti yang sama.

Lantas, apa yang menarik dari perhelatan akbar demokrasi di PWI? Secara angka-angka dalam setiap proses pemilihan masih dalam koridor kelaziman. Pengajuan calon, perhitungan hingga menghasilkan pemenang adalah hal yang biasa.

Namun ada yang  tak biasa seakan memunculkan skenario memaksakan kehendak dari ‘kubu incumbent’  untuk memenangkan pertarungan.

Melalui steering committe (SC) disiapkan draft rancangan tata tertib (tatib) yang masih mengacu pada Peraturan Dasar-Peraturan Rumah Tangga (PD-PRT), namun saat membedah  persyaratan calon Ketua Umum disitulah tergambar ada skenario pemaksaan kehendak  yang sebagian persyaratannya  tidak diatur dalam PD-PRT.

Dukungan 20 Persen

Sejumlah persyaratan calon Ketua Umum dalam tatib yang paling krusial dan menjadi perdebatan panjang   dalam rancangan tata tertib dituliskan tentang batasan usia minimal calon 40 tahun dan setiap calon harus dukungan tertulis minimal 20 persen  dari jumlah PWI Provinsi.  

Dua rancangan persyaratan ini seolah ‘dipaksakan’ dan terkesan ‘pesanan’ untuk menggagalkan hak anggota  mencalonkan diri atau yang lebih ekstrim lagi hanya akan ada satu orang yang bisa mencalonkan diri karena dukungan suara provinsi dikuasai satu calon, dan hampir dipastikan aklamasi.  

Padahal, dalam PD-PRT memang ada mengatur batas usia minimal 40 tahun, namun syarat itu hanya untuk calon Ketua Dewan Kehormatan (DK) dan Dewan Kehormatan Provinsi (DKP) beserta anggota dengan ditambah persyaratan lainnya, sementara untuk calon Ketua Umum tidak mengatur batasan usia.

Untungnya dari anggota yang ingin mencalonkan diri tak ada yang berusia dibawah 40 tahun sehingga aturan itu tidak terlalu dipersoalkan, namun dalam perdebatan sempat dimunculkan wacana batas usia maksimal juga diatur jika batas usia minimal terus dipaksakan.    

Perdebatan yang paling seru terjadi saat SC ‘memaksakan’ rancangan persyaratan dukungan provinsi 20 persen, namun rancangan pasal ini akhirnya dihapus setelah dilakukan voting  dan lebih banyak provinsi yang tidak menyetujui pasal tersebut dicantumkan.

Sebenarnya pasal-pasal tambahan yang tidak diatur dalam PD-PRT bisa saja dijadikan bagian dari persyaratan namun harus diumumkan jauh-jauh hari, tidak ujug-ujug dimunculkan dalam proses pemilihan.

Hal ini juga mengacu pada mekanisme format dukungan, termasuk jika terjadi dukungan ganda terhadap calon. Sikap pemaksaan kehendak tanpa melalui mekanisme ini mengindikasikan calon incumbent ingin memanfaatkan kewenangan SC mengendalikan persidangan.

Penguatan terhadap skenario pemaksaan kehendak ini makin sangat kentara manakala pimpinan sidang sementara dari unsur SC berulang kali menyampaikan hal-hal yang belum diatur dapat diputuskan dalam Kongres, karena Kongres merupakan forum tertinggi dalam sebuah organisasi.

Sebenarnya apa yang disampaikan Pimpinan sidang sementara benar, karena makna Kongres ini adalah menyempurnakan aturan organisasi agar lebih baik, namun harus tetap mengacu pada PD-PRT, Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Kode Prilaku Wartawan (KPW) PWI. Utamanya  harus dikecualikan terhadap ‘niatan tertentu’ yang berujung pada kepentingan kelompok.

Dan yang perlu digaris-bawahi adalah keputusan yang sangat prinsipil tidak berlaku secara serta merta, apalagi dalam PD-PRT disebutkan hal-hal perubahan PD-PRT yang disahkan  oleh Kongres harus dibuat dalam akte notaris.

Peraturan Organisasi

Solusi lain yang selama ini belum dilakukan pengurus pusat adalah menyiapkan Peraturan Organisasi (PO) atau istilah lainnya yang permanen guna melengkapi/menyempurnakan hal-hal tehnis yang belum diatur dalam PD-PRT, KEJ maupun KPW.

Keberadaan PO yang merupakan turunan dari PD-PRT dianggap perlu dan mendesak khususnya menyikapi tata cara pemilihan Ketua Pusat, Ketua Provinsi dan Ketua Kabupaten/Kota, persyaratan calon, jadwal pendaftaran dan hal-hal lain yang dianggap prinsipil.

Penolakan terhadap dukungan 20 persen dari Provinsi dan perdebatan tentang batas usia minimal untuk menjadi calon Ketua menjadi bukti perlunya aturan tambahan  yang menjadi acuan dalam melaksanakan mekanisme organisasi.

Itu ditingkat pusat, bagaimana ditingkat Provinsi atau Kabupaten/Kota? Malah lebih nyelimet lagi. Persoalannya, ada pasal di PD-PRT yang membuka peluang terciptanya money politics terkait dengan mandataris bagi anggota yang tidak hadir dalam pelaksanaan Konferensi.

Pasal 33 ayat 4 PRT menyebutkan; Anggota yang memberikan mandat dianggap hadir. Disini pemicu money politics itu terjadi. Tanpa sadar kita seakan membenarkan terjadinya jual beli mandat menjelang Konferensi.

Walaupun tujuan mandataris itu adalah bentuk kehadiran anggota dalam suasana apapun di Konferensi, namun fakta di lapangan yang terjadi adalah kegiatan transaksional.

Harusnya, mandataris hanya digunakan untuk memenuhi kourum 2/3 saja, dan untuk proses pemilihan harus dilakukan bagi anggota yang hadir langsung.

 Khusus untuk wilayah Provinsi di kawasan Papua mungkin bisa dimaklumi dengan alasan jarak tempuh atau peristiwa khusus seperti merebaknya wabah Covid 19 yang baru lalu, namun untuk daerah dan kondisi yang masih normal hal tersebut perlu menjadi pertimbangan.

Hal lain juga yang perlu disikapi adalah pemberlakuan Kartu anggota seumur hidup bagi anggota yang berusia 60 tahun (pasal 9 ayat 4 PRT).

Pasal ini juga perlu disempurnakan dengan kewajiban mereka-mereka yang berusia diatas 60 tahun untuk melakukan registrasi tahunan atau 5 tahun sekali.

Langkah ini juga dimaksudkan untuk pendataan anggota menjadi lebih valid sekaligus guna menghindari penyalahgunaan suara saat berlangsungnya Konferensi.

Skenario pemaksaan kehendak pun makin kentara terlihat saat Sidang Komisi pembahasan PD-PRT, KEJ dan KPW di Komisi A.

Perdebatan yang menjurus pada keributan terjadi pada saat pembahasan periodesasi kepengurusan di tingkat PWI Kabupaten/Kota.

Dalam draft masa periodesasi dituliskan 5 tahun, sama seperti kepengurusan di Pusat dan Provinsi, namun sebagian besar peserta sidang menolak dan akhirnya tetap menyepakati  3 tahun.

Pasal yang paling mengejutkan dan terkesan diciptakan untuk ‘pembunuhan hak’ anggota sebagai pengurus tergambar di draft pasal 29 ayat 1 PD.

Di pasal ini tertulis; anggota yang akan atau masih menduduki jabatan di Lembaga-lembaga negara tertentu seperti, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) atau Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID), Komisi Informasi (KI), Komnas HAM, Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilihan Umum (DKPP), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Lembaga Sensor Film (LSF) dan staf/tenaga ahli di kementerian/Lembaga pemerintahan harus non aktif dari pengurus.

Pasal di atas sangat kontradiktif dengan pasal 16 ayat 1 KPW; Wartawan yang akan menduduki jabatan atau telah selesai menduduki jabatan sebagai ketua, sekretaris, anggota atau staf di lembaga-lembaga negara seperti, namun tidak terbatas pada, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) atau Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID), Komisi Informasi (KI), Komnas HAM, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Lembaga Sensor Film (LSF), dapat tetap menjadi pengurus PWI pada semua tingkatan karena pekerjaan-pekerjaan tersebut selain untuk  melayani kepentingan publik juga tidak mengandung benturan kepentingan dengan tugas-tugas atau prinsip kewartawanan.

Jika dianalisis, pembalikan makna pasal yang bertolakbelakang ini jika dibaratkan dari positif menjadi negatif, dari jantan menjadi betina, dari baik menjadi buruk  hingga  perpindahan pasal dari KPW ke PD-PRT mengindikasikan ada upaya ‘pembunuhan hak’ anggota untuk menjadi pengurus.

Apalagi dalam regulasi aturan pers dan lembaga terkait tidak mencantumkan adanya pelarangan kecuali KPK, KPU, Bawaslu dan DKPP yang memang sudah diatur di lembaga tersebut.

 Setelah terjadi perdebatan panjang, akhirnya pasal tersebut  dianulir dan diperbaiki dengan dalih kesalahan dalam penginputan data.

Begitulah perjalanan Kongres PWI di Bandung, penuh dinamika dan intrik. Strategi memenangkan calon pemimpin PWI untuk 5 tahun kedepan pun dilakukan dengan berbagai cara. Perlu perubahan, juga penguatan dan semangat membangun organisasi profesi kewartawan yang kuat adalah tujuan kita bersama.

Banyak hal-hal yang perlu disempurnakan, dan kita percayakan saja kepada mereka yang terpilih menjadi pengurus. Rumah Besar PWI kini dinakhodai Hendry Bangun bersama Sasongko Tedjo selaku punggawa etik bagi anggota .

Selamat berkarya Bang Hendry dan Mas Sasongko, terima kasih Bang Atal dan Bang Ilham. Karyamu tetap kami kenang. Itu saja. *

Penulis adalah Ketua Dewan Kehormatan PWI Provinsi Sumatera Utara