Menyoal Prostitusi Sintai, Bagaimana Nasib Generasi Mendatang?

Oleh Nai Ummu Maryam

PROSTITUSI Sintai di Batam merupakan tempat prostitusi legal yang sudah tidak asing lagi terdengar bagi masyarakat Kota Batam. Sintai awalnya dibangun untuk merehabilitasi pekerja seks komersial atau perempuan tuna susila agar jumlahnya berkurang dan mengembalikan mereka ke jalan yang benar.

Di lokasi tersebut juga ada pembinaan yang diberikan oleh petugas setempat kepada perempuan tuna susila seperti bekal keterampilan sebagai modal dasar untuk mencari nafkah yang halal. Kesehatan mereka pun juga dicek secara rutin oleh petugas agar tidak tertular HIV/AIDS (Batamnews.co.id)

Namun apa yang terjadi hingga saat ini? Hasilnya masih jauh panggang dari api. Berharap dengan adanya rehabilitasi Sintai, jumlah perempuan tuna susila berkurang malah justru makin bertambah. Sintai didatangi para tuna susila baru dari berbagai daerah. Alhasil, Sintai berubah menjadi lokalisasi ‘resmi/legal’ di Batam.

Permasalahan Sintai memang sudah lama dibahas. Namun hingga kini Sintai masih terus saja eksis di tengah-tengah masyarakat Tanjung Uncang Kota Batam. Seolah-olah kegiatan prostitusi ini merupakan suatu hal yang dianggap biasa (normalisasi).

Sintai, sebenarnya memberikan dampak buruk bagi generasi selanjutnya terutama para anak muda yang berada di dekat lingkungan sekitar. Seks bebas, miras, hingga narkoba menjadi bayang-bayang ancaman yang akan terus menghantui. Dampak buruk ke depannya tidak hanya kerusakan moral yang terjadi, berbagai penyakit kelamin yang menular, hingga rusaknya nasab (garis keturunan).

Mirisnya, Sintai juga berdekatan dengan beberapa masjid. Namun tetap saja pola sikap masyarakat saat ini dipengaruhi oleh sistem yang menjerat bernama sekularisme sehingga masyarkat semakin jauh dari Islam diperparah fasilitas maksiat makin merajalela.

Sekularisme adalah sebuah sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Sistem ini membuat seorang Muslim kehilangan identitas agamanya. Menganggap bahwa agama hanya berlaku untuk ritual ibadah saja. Sedangkan pola sikap bebas sebebasnya. Pemahaman ini tentu sangat keliru.

Seyogianya, permasalahan Sintai adalah salah satu contoh potret buram yang menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang belum sejahtera di negeri ini. Mereka memilih jalan pintas dalam memenuhi kebutuhan hidup. Pekerjaan haram pun dilakukan yang terpenting sejengkal perut terpenuhi.

Sintai, seharusnya menjadi cerminan dan tanggung jawab para penguasa untuk lebih memperhatikan kondisi masyarakatnya agar memiliki pekerjaan yang layak dan halal. Sintai atau prostitusi lainnya yang masih marak, jika dibiarkan terus eksis maka akan memberikan dampak buruk ke depannya dan yang lebih fatal menjadi dosa jariyah yang tak berkesudahan.

Dosa jariyah yang mengalir ditakutkan akan terkena bagi penguasa yang memberikan izin, pekerja yang berada di tempat tersebut, pelanggan yang ikut bermaksiat hingga masyarakat yang diam tanpa melakukan dakwah amar makruf nahi mungkar.

Islam Tawarkan Solusi

Keistimewaan Islam sudah tidak diragukan lagi. Islam memberikan solusi paripurna yang mampu menyelesaikan permasalahan sampai ke akar-akarnya.

Untuk permasalahan Sintai, ini sebenarnya permasalahan yang sistemik maka solusi yang ditawarkan juga harus sistematis.

Jamak kita ketahui, bahwa sistem kehidupan saat ini adalah sekuler-kapitalisme. Maka tahapan awalnya adalah mencampakkan sistem rusak ini di tengah-tengah masyarakat. Caranya dengan menyadarkan masyarakat kembali kepada penerapan syariat Islam.

Dalam Islam, ada solusi preventif yang ditawarkan. Pertama, sebagai seorang muslim wajib menjaga diri dengan menutup aurat, menjaga pandangan dan, pergaulan. Seperti menghindari campur baur (ikhtilat) antara laki-laki dan perempuan hingga adanya larangan mendekati zina.

Kedua, adanya sanksi (uqubat) yang diterapkan oleh para penguasa atau pemangku jabatan. Pelaku zina tidak bisa dianggap remeh dan santai. Tidak cukup dengan penjara atau rehabilitasi semata. Dalam Islam, di dunia, pelaku zina layak mendapat hukuman berupa hukum cambuk 100 kali (bagi yang belum pernah menikah) (QS an-Nur: 2) dan diasingkan selama setahun (HR al-Bukhari). Adapun pezina yang sudah menikah atau belum pernah menikah tetapi sering berzina dikenai hukum rajam (dilempari dengan batu) sampai mati.

Sanksi (uqubat) yang diberlakukan bukan karena kejam. Hal ini bertujuan memberikan efek jera atau pencegahan (zawajir) dan penebus dosa (jawabir). Jika sanksi ini berjalan maka pelaku kemaksiatan akan berkurang.

Ketiga, haram hukumnya bagi negara menjadikan prostitusi sebagai sumber pendapatan negara. Negara memiliki peran penting dan bersikap tegas untuk menutup semua tempat prostitusi. Penguasa juga wajib menyediakan lapangan pekerjaan seluas-luasanya bagi masyarakat. Agar mereka mampu bekerja dengan cara yang halal dan baik.

Maka, permasalahan Sintai bisa diselesaikan jika ada peran individu yang bertakwa, masyarakat yang berdakwah (menyeru kepada penerapan syariat) hingga peran negara agar kembali kepada penerapan Islam secara sempurna dan keseluruhan.*

Penulis adalah Pemerhati Permasalahan Sosial bermestautin di Batam