Oleh Muchid Albintani
“Kalaulah post-word identik pertanggungjawaban
dipastikan kebohongan dibalik ‘orang pintar’
Selalunya ‘orang pintar’ disanding kedigjayaan
padahal kedigjayaan identik kebodoh-bohongan”
SEMENJAK awal perlu disampaikan jika kolom ini ditulis pun didedikasikan khusus sempena ‘peluncuran’ Majalah Siber Indonesia (J5NEWSROOM.COM). Bang Saiban (Saudara Saibansah Dardani saya selalu memanggilnya), menghubungi Saya, agar bersedia menjadi salah seorang penulis kolom tetap di media ini.
Perintah Bang Saiban untuk mencari serta menentukan judul kolomnya, Saya setujui. Kolomnya, Saya beri nama “KORPORAGLOBALITE”. Secara khusus, akan diulas-ringkas ihwal tajuk kolom tersebut. Maaf, tidak sekarang. Harap bersabar.
Mengawali tulisan, kebetulan ‘peluncuran’ media ini bertepat-samaan sempena hari lahir Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Sempena hari lahir inilah, akan diulas-ringkas ihwal “Post-Word, Kebohongan dan Orang Pintar”. Hemat Saya, sempena perayaan proklamasi ini menjadi wajib hukumnya mendiskusikan hubungan kebohongan dan ‘Orang Pintar’ menuju Post-Word.
Tulisan ini berupaya merakit-elaborasi istilah Post-Word, dan ‘Orang Pintar’. Lalu pertanyaanya apakah konsep-istilah dari keduanya, berklid-klindan dengan kebohongan? Dari sinilah sebagai bagian awal mengemukanya sebuah pandangan berasal dari studi Korporaglobalite versi lokal, belum mondial (global).
Keduanya, konsep-istilah ini sebagai antisipasi peristiwa Post-Word (setelah dunia, maksudnya alam dunia): Lalu apa? Tentu saja misi propetiknya (ke-nubuwah-an atau eskatologi), merupakan jalan penting panjang dan berliku untuk mendapat keselamatan menuju Yaumul Mahsyar (post dari ‘Post-Worl’).
Post-World esensinya, tidak lagi menandai masa lalu, melainkan transisi: antara seperdetik masa lalu menuju seperdetik masa datang pasca dunia. Oleh karena itu, mengantisipasi Post-World inheren bagi umat mempersiapkan bekal menuju Yaumul Hisab sebelum ke Yaumul Mizan. Berklindan-pancang pengetahuan ilmu antisipasi adalah asbab penting jika istilah sempena menyambut hari lahir kemerdekaan.
Inilah sesungguhnya makna relegius-filosofis bahwa kemerdekaan merupakan bagian signifikan ‘Atas Berkat Rakhmat Allah Yang Maha Kuasa’ (pada pembukaan UUD 1945 alinea ke-3).
Bersandar pada penjelasan ringkas Post-Word, belakangan ini walaupun tidak heboh-heboan, istilah ‘Orang Pintar’ begitu populer. Istilah ini belakangan menjadi tema diskusi di beberapa media, khususnya media sosial juga tv yang berbasis online. Terlepas hiruk-pekak hasilnya menjadi penting jika ‘Orang pintar’ untuk disandingkan dengan lakon-laku bohong (kebohongan) pun kebodohan tersebut, semua tergantung.
Tulisan ini minimal berupaya merakit-elaborasi istilah ‘Post-World’ dengan menyandingkan antara kebodoh-bohongan dan ‘Orang Pintar’. Petanyaaan utama wajib diajukan dalam hubungan penyandingan tentu saja: benarkah ada ‘Orang Pintar’ di era hubbud dunya hari ini?
Berakhirnya syiar Rasulullah Muhammad Saw, pertanda kekinian adalah rentang waktu penantian yang disebut menuju ‘Post-Word’. Setelah sahabat, tabiin, dan seterusnya sebagai pewaris penyampai kebenaran (lawan kebohongan) adalah para ulama, pewaris nabi. Referensi Qurani memberi rujukan jika ulama adalah pewaris nabi.
Dalam konteks pewaris nabi untuk menyuarakan kebenaran ini menuju ‘Post-World’ tentu saja menghadapi tantangan dengan berbagai fenomena yang mengiringinya. Oleh karena itu, istilah ‘Orang Pintar’, tidak berbanding lurus dengan ‘pewaris para nabi’ atau mereka yang mengklaim mendapat ‘karomah’ (keadaan luar biasa) pun ‘maunah’ (pertolongan) yang bersumber langsung dari Yang Maha Kuasa.
Perbandingannya sangat tergantung berdasarkan realitas sosial-religius masyarakatnya. Sejauh ini, untuk konteks negeri ini terkait dengan ‘barokah’ dan ‘maunah’ selalu berklindan dengan istilah ‘Orang Pintar’.
Tidak dapat dihindari menjelang perhelatan akbar terkait suksesi politik nasional, dan lokal, istilah ‘Orang Pintar’ selalu populer mengedepan. Ditambah pelbagai krisis yang sedang melanda dunia, sempitnya lapangan pekerjaan, ‘profesi Orang Pintar’ menjadi pilihan di tengah krisis psikologis masyarakat yang materialis-hedonis.
Menurut hemat Saya, istilah ‘Orang Pintar’, tidak berbanding lurus dengan ke-barokah-an apalgi ke-maunah-an. Dalam konteks ‘Orang Pintar’, hanya berbanding lurus (berkaitan langsung) dengan seorang pemimpin institusi yang selalu dikaitkan dengan keagamaan, bisa pemimpin organisasi keagamaan, pemimpin padepokan, atau juga pendapat-persepsi orang perseorangan (seseorang) kepada pemimpinnya.
Hampir tidak ditemukan menuju Post-World’, benar-benar ada ‘Orang Pintar’ bersandarkan pada realitas personal kemandirian, tanpa berhubungan dengan institusi pun keorganisasian.
Pola hidup hedonis bersandarkan penguasaan materi (materialis-hedonis) sebagai indikator keberhasilan, banyak orang berpendapat mustahil masih ada ‘Orang Jujur’ sebagai lawan (vs) ‘Orang Pintar’.
Istilah ‘Orang Jujur’ (tidak berbohong) sebagai lawan tanding ‘Orang Pintar’ mempunyai titik temu yang seimbang (titik keseimbangan). Ini dialtari dengan banyak istilah yang mengemuka dalam konteks kejujuran. Misalnya pernyataan, ‘Jangankan yang halal, yang haram saja susah’.
Sederhananya, berupaya bersagang dari istilah ‘Orang Jujur’, dan ‘Orang Pintar’ menuju Post-World’, terdapat variable kebohongan dan kebodohan yang berklid-klindan. Ini disebabkan oleh karena belajar dari ‘Orang Jujur’ adalah rukun pun syarat untuk menjadi ‘orang pintar’.
Mengapa? Dua alasannya. Pertama, untuk menjadi ‘Orang Pintar’ rukunnya pernah dibodohi. Kedua, oleh karana pernah dibodohi, menjadi ‘Orang Pintar’ syaratnya adalah dibohongi menjadi wajib ‘berbohong’.
Dua argumentasi ini dilandasi pertanyaan yang selalu mengemuka di masyarakat: mengapa ada ‘Orang Pintar’? Jawaban religius-filosofisnya adalah karena ada ‘Orang Bodoh’.
Setuju!? ***