Durga, Srani, dan Kekuasaan

Wartawan senior Hendro Basuki. (Foto: J5NEWSROOM.COM)

Oleh Hendro Basuki

DURGA gelisah. Batari yang menjadi istri Batara Guru itu lama tak bisa memejamkan mata. Diperhatikannya seluruh peristiwa dunia. “Kenapa anakku Srani selalu dilihat sebelah mata,” renungnya.

Batari Durga sebenarnya adalah Dewi Uma. Disebut juga Dewi Umayi, atau beberapa dalang menyebut Dewi Umaranti. Ia anak seorang pedagang yang bernama Umaran. Ibunya bernama Nurweni, ratu jin. Kelahirannya didahului dengan hujan yang tiada henti, guntur langit meledak-ledak, dan gempa di mana-mana.

Gumpalan Merah

Begitu lahir, bukan berbentuk jabang bayi. Melainkan segumpal cahaya merah. Secepat lahir, gumpalan itu mengangkasa.
Umaran kaget, meski berusaha tabah. Ia ikuti terus ke mana gumpalan merah bercahaya itu menggelandang. Setelah beberapa saat, jatuhlah gumpalan itu di Gunung Tengguru.

Umaran tak menyerah. Ia memilih  bertapa di gunung itu sambil memohon kepada Sanghyang Wenang mewujudkan gumpalan itu menjadi manusia. Tapa nggentur berbulan bulan, dan permohonan Umaran dikabulkan Sanghyang Wenang. Berubahlah gumpalan itu menjadi bayi yang jelita.

Nurweni kaget, ternyata anak perempuan yang diberi nama Umayi itu  berkelamin ganda. Beberapa dalang menerangkan itu akibat kesalahan Umaran ketika bermohon. Dia hanya memohon agar gumpalan itu berubah menjadi manusia. Tanpa tambahan, jika perempuan jadilah seperti bidadari cantik, dan jika lelaki jadilah ksatria tanpa tanding.

Meski mengalami kelainan, Umayi lebih tumbuh sebagai gadis. Seperti ibunya, ia lebih memilih lebih banyak bertapa dan berdiam diri.

Ia bertapa karena keinginan kuatnya untuk menjadi penguasa dunia. Jika bukan dirinya, maka suami harus mencapai. Bahkan anak-anaknya. Kesaktiannya diuji Batara Guru. Ketika sedang melakukan perjalanan dengan naik Lembu Andini, Guru kaget ketika berpapasan dengan Umayi. Cantik, sakti pula.

Hasrat Guru kambuh. Dilamarlah Umayi. Ditolak mentah-mentah. Merasa terpesona dengan kecantikan Umayi, Guru mencoba mengejar sampai mendapatkan. Guru kesulitan karena betapa susahnya Umayi yang memiliki kulit selicin belut. Setelah melewati pengejaran yang lama, tertangkaplah Umayi.

BACA JUGA: Cinta Krisna untuk Samba, Anaknya yang Berbuah Petaka

Perilaku Guru kelewat batas. Didekaplah Umayi untuk melampiaskan hasratnya.

“Guru, kalakuanmu kok seperti hewan..” kata Umayi marah.

Kemarahan Umayi seketika mengubah Guru bertaring tajam,  bertangan empat seperti hewan.

Sementara itu, empat tangan itu dimaknai para dalang sebagai ambisi kekuasaan tak terbatas. Sementara kakinya tidak menapak tanah karena ke mana pun Guru pergi menaiki Lembu Andini. Sebagian besar hidupnya dalam mengendalikan kahyangan selalu naik lembu.

Tidak terima disabda Umayi dengan nasib bertaring dan bertangan empat seperti hewan, Guru balik menyabda Umayi menjadi raksasa wanita. Berubahlah Umayi menjadi raksasa yang kemudian dikenal sebagai Batari Durga. Batari yang sepenuhnya diliputi oleh ambisi dan iri hati.

Oleh Batara Guru, Durga diruwat untuk sepenuhnya menjadi wanita dan berkelamin tunggal. Dari perkawinan Guru dan Durga memiliki beberapa anak. Salah satunya, Dewa Srani.

Batari Jalan Pintas

Durga  berharap banyak terhadap Srani. Dilihat wajah tampan anaknya yang cukup mampu bersaing dengan Pandawa. Di samping kesaktiannya juga tanpa pilih tanding. Dalam pewayangan, Durga disembah oleh mereka yang memiliki sifat jalan pintas.

Burisrawa, anak keempat Prabu Salyapati Raja Mandraka, memohon bantuan kepada Durga karena tak mampu mengambil hati Dewi Subadra, istri Arjuna.

Dengan bantuan Durga, Burisrawa bisa memasuki taman keputren di Ksatrian Madukara. Nyaris menodai Subrada.
Anak Prabu Duryudana, Lesmana Mandrakumara juga meminta bantuan Durga untuk meminang Dewi Pergiwati, anak Arjuna. Gagal! Pergiwati lebih memilih Pancawala, anak Prabu Yudhistira.

Meski di dalam jagad pewayangan Jawa Durga digambarkan sebagai batari yang diliputi sifat dengki, iri hati, dan ambisius, tetapi ada juga yang menganggapnya sebagai Dewi Penolong. Di India bagian utara, Durga adalah sesembahan untuk memohon pertolongan.

Dalam lakon Ruwatan Batari Durga digambarkan bahwa Sadewa lah yang berhasil meruwat dan mengubah menjadi wanita cantik, meski sifat aslinya sebagai dewi yang ambisius dan iri hati tetap melekat.

Dalam lakon carangan yang lain, Durga bersekongkol dengan Srani anaknya untuk menguasai Kahyangan Tenjomaya, dan di sinilah para bidadari bermukim. Durga meminta Srani mempersiapkan diri jika sewaktu-waktu diminta.

BACA JUGA: Puncak Pengorbanan Putra Arjuna, Wisanggeni!

Padahal Srani sebenarnya sudah menjadi raja di Kerajaan Nusarukmi, atau dikenal sebagai Kerajaan Tunggulmalaya. Tetapi sebagai anak Batara Guru, Durga menganggap kekuasaan Srani  terlalu kecil.

Digugat Semar

“Duh, Batara Guru. Kula suwun kanthi sanget bilih ingkang putra Srani sageta ngadeg ratu ing Tenjomaya..,” pinta Durga kepada suaminya.

“Ora bisa Yayi (Tidak bisa adinda). Kuwi jatahe Arjuna (Itu sudah jatahnya Arjuna)!”

“Kabeh-kabeh kok Arjuna (Semua-semua kok untuk Arjuna)?” Durga jengkel.

“Saget, mboten saget Srani kedah dados jumeneng ratu! (Pokoknya Srani harus jadi penguasa).” Kata Durga meninggi bahwa bisa atau tidak anaknya harus bisa jadi ratu.

Batara Narada pun mengingatkan Guru dan Durga. Jika itu terjadi, kata Narada, selain menyimpang dari hukum, juga etika, atau wahyu.

“Mangke kawula sami mboten percados kaliyan para dewa, Guru,” kata Narada yang mengingkatkan jika Srani jadi ratu Tenjomaya bakal merusak hukum, aturan, dan juga mengingkari wahyu.

Mereka  berdua tak peduli. Durga pun menegaskan, Srani punya hak meski belum berpengalaman. “Ingat Narada, Srani itu anak Batara Guru. Dudu kawula lumrah!” (Ingat Narada, Srani itu anak Batara Guru, bukan rakyat biasa).

“Narada, salahku ning ngendi yen Srani ya pengin dadi Ratu Tenjomaya? (Narada, apa salahku jika Srani ingin jadi penguasa Tenjomaya),” tanya Guru kepada Narada.

“Narada, wahyu kuwi kudu diunduh. Ora ana wong turu entuk wahyu. Kudu diupakara, direkadaya supaya wahyu manjing ning Anakku! ” tegas Durga. (Narada, wahyu itu harus diupayakan. Tidak ada orang tidur terus dapat wahyu. Harus berusaha keras dan direkayasa agar wahyu itu untuk anakku).

Perdebatan mereda.

Dan, akhirnya pun, Srani jadi Ratu Tenjomaya. Tetapi ternyata hanya sebentar karena digugat Semar yang merupakan kakak tertua dari Batara Guru.

“Yen ora leren, Kahyangan tak obrak-abrik! (kalau gak disudahi, Kahyangan saya obrak-abrik).” Semar mengancam.

Semar yang sebenarnya adalah dewa, tetapi memilih menjadi rakyat jelata yang menjadi pembantu Pandawa.*

Penulis adalah wartawan senior bermestautin di Semarang Jawa Tengah