Oleh L. Nur Salamah, S.Pd.
“BUNG, aku belum pernah lihat lo gambar Gibran yang asli. Gibran itu siapa sih Bun? Kok banyak gambar-gambar orang dipasang di pinggir jalan, Bun?” tanya bocah belia itu sepanjang perjalanan ketika berangkat dan pulang sekolah.
Cukup mengejutkan. Betapa tidak, seorang bocah yang usianya belum genap enam tahun, tetiba mengucapkan hal yang sama sekali di luar dugaan kita. Sebagai orang tua, terutama seorang ibu, yang memiliki tugas sebagai guru bagi anak-anaknya tentu harus memberikan jawaban terbaik yang bisa diterima oleh anak usia dini tersebut. Karena jika salah dalam memberikan jawaban bakal fatal akibatnya. Apalagi ini masalah yang agak sensitif.
Namun, fokus pembahasan di sini bukan pada bocah maupun pertanyaan yang diajukan. Akan tetapi lebih kepada menjamurnya baliho caleg, capres dan cawapres di sepanjang jalan wilayah Batuaji Batam, dari Puskopkar hingga depan Perumahan Graha Nusa Batam.
Median maupun tepian jalan yang mungkin baru saja ditanami pohon untuk penghijauan sudah dipenuhi baliho caleg dengan menggunakan paku sebagai perekat ke batang pohon. Padahal kita ketahui batang pohon tersebut masih kecil dan dalam proses berkembang.
Sebagai Sarana Kampanye
Keberadaan baliho yang menjamur tersebut, disinyalir sebagai sarana untuk kampanye yang paling efektif dan efisien. Karena kalau untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat secara langsung atau melalui televisi bukanlah perkara yang mudah.
Apalagi masyarakat saat ini kian cerdas dalam berpolitik. Semakin jengah dengan janji-janji manis demokrasi, karena hampir tidak pernah ditepati. Lagu lama, setiap menjelang pesta demokrasi, selain memasang baliho juga melobi pengurus Majelis Taklim maupun RT dan RW.
Sudah menjadi rahasia umum. Mereka menawarkan berbagai bantuan, mulai kompang, seragam MT, kalender, dan lain sebagainya. Semua itu dilakukan untuk mendapatkan dukungan dan suara dari masyarakat.
Dari mana uang sebanyak itu?
Berbagai bantuan yang ditawarkan, termasuk membuat baliho membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Kontestasi politik demokrasi yang sangat mahal mencapai ratusan juta bahkan milyaran jelas tidak cukup dari kantong pribadi.
Hal ini meniscayakan para politikus untuk menggandeng cukong (para pemilik modal/ kapitalis) atau kalau tidak demikian kemungkinan dengan berhutang yang ada riba di dalamnya.
No Free Lunch, tidak ada makan siang gratis. Begitulah kira-kira pepatah lamanya. Hidup dalam alam kapitalis tidak ada sesuatu yang gratis. Mereka para pemilik modal yang telah memberikan sokongan dana kepada para politisi, setelah mereka terpilih dan berkuasa meniscayakan menggunakan wewenang dan kekuasaannya untuk para pemodal atau pengusaha dengan memberikan kebijakan yang pro terhadap kepentingan mereka, yang terkadang harus mengorbankan kepentingan rakyat.
Lantas, bagaimana dengan nasib wong cilik? Mereka tak ubahnya seperti bumbu masak lengkuas. Kalau mau masak diambil dipakai sebagai penyedap. Setelah masakan selesai, lengkuas dicampakkan.
Dana besar yang dipakai untuk kampanye, kalau tidak dari pengusaha atau pemilik modal kemungkinannya dari berhutang yang terdapat riba di dalamnya. Diakui atau tidak nominalnya sangat fantastis. Maka ketika mereka terpilih, harus mengembalikan uang yang habis-habisan dipakai untuk kampanye.
Kalau hanya mengandalkan gaji, cukup kah? Jelas jauh panggang dari api. Maka tidak menutup kemungkinan akhirnya menempuh jalan pintas yakni korupsi atau menyalahgunakan kekuasaan atau wewenang dengan praktik suap (riswah) yang jelas-jelas diharamkan oleh Islam.
Dalam suatu pertandingan, kalau tidak menang pasti kalah. Kalau menang jadi koruptor. Lantas bagaimana kalau berada di pihak yang kalah? Meskipun tidak semua, namun tidak sedikit para caleg yang mengalami stress hingga depresi ketika gagal. Sebelum pelaksanaan pun, perasaan was-was atau harap-harap cemas itu pasti dirasakan. Ketika terbukti kalah, depresi adalah suatu keniscayaan.
Bagaimana tidak depresi, dana yang tidak sedikit dikeluarkan, ternyata harus menerima kenyataan pahit. Dari mana dan ke mana akan dicari uang sebanyak itu. Kalau harta sendiri mungkin tidak sebegitu stress. Ini uang dari berhutang. Bagaimana cara mengembalikannya. Andaikan bergaji sekalipun, mungkin hingga tutup usia belum juga bisa melunasi.
Oleh karena hal itu, Dirut RSJ. Menur Surabaya beberapa waktu lalu juga menyatakan siap menampung pasien yang depresi akibat gagal dalam pileg.
Dalam kontestasi politik demokrasi, menang atau kalah tidak ada baik-baiknya. Justru mengantarkannya kepada kehinaan di dunia bahkan hingga akhirat nanti.
Terlepas dari hal di atas, bukan perkara menang atau kalahnya. Hal penting yang harus diketahui adalah terjun dalam sistem demokrasi itu sendiri adalah haram. Keharaman itu merujuk kepada sistem demokrasinya yang merupakan sistem kufur.
Sebagaimana penjelasan Syekh Abdul Qadim Zallum yang berbunyi:
الدِّيمُقْرَاطِيَّةُ نِظَامُ كُفْرٍ يَحْرُمُ أَخْذُهَا أَوْ تَطْبِيقُهَا أَوْ الدَّعْوَةُ إِلَيْهَا
“Demokrasi adalah sistem kufur, haram hukumnya mengadopsinya, menerapkannya, dan mempropagandakannya.” (Abdul Qadim Zallum, Al-Dīmūqrāthiyyah Nizhām Kufr Yahrumu Akhdzuhā Aw Tathbīquhā Aw Al-Da’watu Ilayhā, hlm. 21-22).
Haramnya demokrasi itu karena memiliki sebuah prinsip yang berbunyi “kedaulatan di tangan rakyat” yang artinya adalah manusia berhak untuk membuat hukum.
Padahal, dalam sudut pandang Islam ditegaskan bahwa hanya Allah SWT yang berhak dalam membuat hukum. Jika manusia membuat hukum, maka hukum tersebut dinamakan Hukum Jahiliyyah atau Hukum Thaghut.
Oleh karena itu tidak ada yang bisa kita lakukan untuk menyadarkan masyarakat agar tidak berlarut-larut dalam keterpurukan selain dengan terus berjuang dan berdakwah untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam.
WaAllahu’alam Bisshowwab.
Penulis adalah Pengasuh Kajian Mutiara Ummat Kota Batam