Oleh Swary Utami Dewi
TAHUN ini Indonesia mengadakan Pemilu. Gonjang-ganjing Pemilu kali ini sudah terasa jauh sebelum Pemilu berlangsung. Berbagai catatan tentang anomali dan kontroversi mengemuka, misalnya tentang proses tertentu sebelum Pemilu yang sudah dilakukan, serta keputusan di Mahkamah Konstituasi yang menjadi kritik banyak kalangan.
Menyikapi berbagai anomali itu, banyak seruan dari kampus dan kelompok-kelompok masyarakat lain bermunculan akhir-akhir ini. Seruan tersebut pada dasarnya berupaya mengingatkan kita pada pentingnya etika dan nilai-nilai bernegara bagi bangsa Indonesia.
Juga bertebaran tulisan dari para akademisi dan mereka yang prihatin tentang kondisi demokrasi kita yang “sedang tidak baik-baik saja”. Terakhir, ada film yang khusus menyajikan indikasi adanya proses “Dirty Vote” yang sudah dirancang jauh-jauh hari sebelum Pemilu.
Di satu sisi, banyak pula yang percaya bahwa tidak ada yang tergores di demokrasi negeri ini. Semua sedang baik-baik saja. Goyang gembira dan berbagai dukungan muncul, berseliweran tanpa henti.
Episode demokrasi kita terus berlanjut. Baru selesai pencoblosan, beberapa jam kemudian sudah ada hasil Quick Count di beberapa lembaga survei, yang menunjukkan keunggulan pasangan calon presiden tertentu.
Dan kelanjutannya, ada selebrasi “kemenangan” awal. Di lain sisi, ada yang langsung terkena pukulan psikologis. Merasa pilihannya sudah kalah. Semangat untuk jaga suara memudar. Ya… kontroversi tentang penghitungan cepat ini memang pelak telah menghangatkan Pemilu 2024.
Sebelumnya, lembaga-lembaga survei ini juga sudah menabur prediksi tentang elektabilitas calon presiden. Narasi-narasi penyerta juga dimunculkan, misalnya wacana satu putaran. Sentilan terhadap lembaga-lembaga survei tersebut tentu saja bermunculan. Ada sentilan tentang aroma penggiringan opini, glorifikasi hasil penghitungan cepat serta isu konflik kepentingan dan tranparansi pihak pemberi dana bagi para lembaga survei tersebut.
Drama demokrasi ini tampaknya masih berlanjut. Kini lebih banyak fokusnya pada Komisi Pemilihan Umum (KPU), lembaga resmi negara yang akan jadi penentu kemenangan. Banyak berita di media dan tayangan singkat di media-media sosial yang berisi keganjilan tentang pencatatan suara.
Misalnya, untuk presiden, ada banyak Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang menunjukkan perbedaan rekaman C1 dengan data di sistem pencatatan KPU. Bahkan, ada jumlah pemilih di TPS, yang menggelembung bagai balon raksasa, menjadi puluhan bahkan ratusan ribu untuk satu pasangan calon. Padahal, satu TPS maksimal hanya memiliki 300 suara.
Fenomena “keliru catat”, yang ditemui di sistem online lembaga pemilu Indonesia tersebut, juga terjadi untuk calon legislatif. Ada jumlah suara yang didapat seorang calon legislatif yang melebihi total suara keseluruhan di daerah pemilihan tersebut.
Pendeknya, keluhan tentang keganjilan terkait banyak bermunculan. KPU sendiri mengakui adanya “kekeliruan” pada pencatatan sistemnya. Sang ketua bahkan meminta maaf atas ribuan “kekeliruan” pencatatan itu.
Semua uraian di atas hanya sedikit dari begitu banyak catatan terhadap kondisi demokrasi kita, yang kali ini bermunculan di sekitar Pemilu. Upaya untuk menunjukkan bahwa demokrasi kita tampak baik-baik dan tidak ternoda terus dilakukan. Sejalan dengan itu, semakin banyak pula yang berkeyakinan bahwa ada ketidakberesan, bahkan pembusukan demokrasi di Indonesia.
Saya terus bertanya, apa lagi kelanjutan dari kondisi demokrasi kita? Sejujurnya, saya teringat pada suatu lakon cerita. Cerita tentang negeri antah-berantah yang sedang memahkotai raja dengan mahkota berduri.
Sang raja duduk di kursi rapuh. Kursi itu rapuh karena kaki-kakinya sudah digerogoti oleh tikus-tikus loba, yang sedang berebut apa saja. Tikus-tikus ini rakus, bukan karena mereka lapar di badan. Mereka sedang menderita penyakit kelaparan yang tidak terpuaskan. Mereka terus-menerus menggerogoti lumbung yang seharusnya dinikmati semua orang.
Lazimnya tikus, ada jenis tertentu yang buta. Mereka tidak punya mata dan selalu menabrak apa saja untuk mencari jalan terbaik menghabiskan semua yang ada di lumbung negeri. Saking banyaknya tikus ini, bahkan ada yang digelari kelompok banyak tikus atau “poli-tikus”.
Sementara itu, di sekeliling kursi rapuh, terus ada kelompok lain yang menggaungkan “mantra puja-puji” kepada sang raja. Gaungan mantra itu disertai tarian kemenangan. Seolah riang, tapi keriangan semu, karena sebentar lagi mereka harus masuk dalam perangkap tikus, yang tanpa ampun akan mencabik hati dan kewarasan mereka sendiri. Di luar lumbung, udara semakin dingin. Angin makin menusuk tulang. Sepi dan sepi. Musim dingin itu pun segera menjelang di negeri itu.
Akankah hal yang sama terjadi di Indonesia? Waktu jua yang akan menjawab. Yang jelas, makin terasa, udara musim dingin yang merambat cepat, menusuk ke dalam, hingga menghujam jantung nurani yang kian menjerit.*
Jakarta, 17 Februari 2024
Penulis adalah anggota TP3PS serta Pendiri NARA dan KBCF dan Climate Leader Indonesia