Muhamad Tajuddin
LAUTKU MAKIN DAHSYAT
Biarlah lautku menggelar gelombang
dan memainkan prahara cinta
kan kuhayati do’a-do’anya dalam sujud panjang
O, lagu kematian memasrahkan mataharimu
dan menyulut api naluri
kan kutebas dengan pisau kepasrahan
Dalam laut yang dingin
kueramkan rahasia-rahasia langit
pada pipi-pupi karang yang jaga
Dalam pasang yang sempurna
zikir pasir mengiang di telinga zaman
mematahkan salib kedunguan
O, kekasih
akulah Laila pemegang piala cinta pertama
O, kekasih
akulah Alhallaj yang memikul tonggak wihdatul wujud
atau Musa penakluk hotel-hotel Fir’aun
Biarlah lautku menggelar gelombang
dan memainkan prahara cinta
kan kuhayati do’a-do’anya
dalam sujud panjang
SAJAK TENTANG KELELAWAR 1
Di suatu siang
seekor kelelawar
merampas sinar
dari gairah mataharj yang hening
lalu beribu nyanyian dirangkum
di pucuk-pucuk pohon
Jika malam menjelang datang
kelelawarku bermanja menggila terbang
menebar catatan bebunyian di dada bintang
menabur keabadian pada bulan
Bintang dan bulan bergelantungan
mengantam cahaya dan merontokkan embun
sepanjang nadi dan mimpi-mimpi
Kalelawar terbang membawa kenangan
SONG OF FLOWER
Setelah datang dari kebun anggur
menghibur hati murai
mengelus nyala bunga
di antara pelayaran sunyi
aku sudah siuman, sayang
Usiaku batu yang pedih
bertebaran di trotoar yang mengental
darah berjalan di keterasingan matahari
mengekal mengekal
di luar masih angin
di luar masih ombak
di luar masih pasar
di luar masih prahara
aku dalam kamar
mendekap topan
melukis tujuh jendela
Aku memetik mawar
dari kemarau waktu
TARIAN BURUNG
Kecuali sarang tempat meretas kerinduan
Aku belajar terbang dengan bulu yang fana
mengikuti kegaduhan awan di barat
Hari ini hari keempatpuluh kelahiranku
mataku terpejam mengikuti kediaman sarang
siulku memanjat pohon
dibawa angin ke pendakian
Dalam kediaman sarang aku berjalan
menghadiri sebuah pertemuan
yang paling kekal
EKSTASE LAUT BERJLAN
dalam mimpinya seorang nelayan melihat laut
sedang berjalan menuju baris-baris sajak
yang ditulis di permukaan bulan
bulanpun pecah di lidah-lidah ular
mengalirkan peradaban bernanah
lewat selangkangan para penyair