J5NEWSROOM.COM, KISRUH atau gonjang-ganjing di tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) saat ini menarik untuk dicermati. Mengingat kisruh itu sampai berujung dengan dilengserkannya sang ketua umum partai berlambang ka’bah tersebut.
Suharso Monoarfa, ketum PPP yang juga menjabat sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) sekaligus sebagai Kepala Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) itu resmi dilengserkan pada Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PPP di Serang Banten, per 4-5 September 2022.
Yang menjadi pemicu pelengseran Suharso konon pernyataannya soal ‘Ampol Kyai’ pada acara pembekalan ‘Politik Cerdas Berintegritas’ di Gedung KPK pada 15 Agustus 2022 lalu. Saat itu Suharso bercerita bahwa dirinya kerap berkunjung ke beberapa pesantren untuk bersilaturahmi dengan para kyai, yang merupakan basis pemilih PPP.
Pada 18 Juni 2022, dia berkunjung ke sebuah pondok pesantren besar dan kyai-kyai besar. Ia bersama dengan fungsionaris partainya menyambangi kyai besar itu dengan maksud meminta doa. Namun diluar dugaan, dirinya malah kerap ditanyai orang-orang dekat kyai tentang ‘tanda mata’ yang ia bawa untuk sang kyai.
“Saya datang ke kyai itu dengan beberapa kawan, lalu saya pergi begitu saja. Saya minta didoain, kemudian saya jalan. Tak lama kemudian saya dikirimi pesan di WhatsApp (WA), ‘Pak Plt, tadi ninggalin apa enggak untuk kyai?, ninggalin apa? Saya tidak tertinggal sesuatu di sana? Mungkin ada barang cucu saya waktu itu yang saya bawa,” cerita Suharso di depan hadirin di Gedung KPK.
Suharso dalam pesan tersebut masih belum memahami sampai ia bertemu dengan orang yang mengirimkan pesan itu. Orang tersebut mengatakan, apabila adanya kunjungan terhadap kyai setidaknya meninggalkan “tanda mata”.
“Oh enggak, ada sesuatu, oh nanti saja, maka sampailah setelah keliling itu ketemu lalu dibilang pada saya, ‘gini Pak Plt, kalau datang ke beliau-baliau itu meski ada tanda mata yang ditinggalkan’, ‘wah saya ndak bawa, tanda matanya apa? Sarung, peci, Alquran atau apa,” kata dia.
Yang dimaksudkan orang tersebut merupakan meninggalkan amplop yang diisi uang. Suharso menerangkan hingga kini hal tersebut lazim terjadi ketika bertemu dengan tokoh agama.
“Kayak enggak ngerti saja Pak Harso ini, gitu Pak. I’ve provited one, every week. Dan bahkan sampai saat ini, kalau kami ketemu di sana, itu kalau salamannya, enggak ada amplopnya, pak, itu pulangnya, sesuatu yang hambar,” kata Suharso tanpa tedeng aling-aling.
Nah cerita Suharso di Gedung KPK tersebut konon yang menjadi pemicu para konsituennya di daerah yang rata-rata dari kalangan pesantren marah dan sangat kecewa. Karena pernyataannya tersebut dinilai tidak etis lantaran menyinggung para kyai dan justru memalukan internal partai itu sendiri.
Setelah itu di tataran grassroot partai terjadi gejolak, banyak protes dan kekesalan yang disampaikan kepada para pimpinan PPP di tingkat daerah, provinsi hingga pusat.
Puncaknya, seseorang bernama Ari Kurniawan, alumni santri Pondok Pesantren Al-Masthuriyah Jawa Barat, melaporkan Suharso ke Polda Metrojaya atas tuduhan melakukan menebar kebencian, permusuhan, penghinaan terhadap suatu agama atau beberapa golongan. Laporan itu tercatat dengan nomor LP/B/4281/VIII/2022/SPKT/ POLDAMETROJAYA.
Suharso pun diduga telah melanggar Pasal 156 KUHP dan Pasal 156 A KUHP. Ari pun melampirkan sejumlah barang bukti yang mendukung laporannya, seperti flashdisk dan tangkapan layar pemberitaan media.
Singkat cerita, tak lama kemudian tiga majelis yang ada di dalam kepengurusn DPP PPP, yaitu Majelis Syariah, Majelis Kehormatan, dan Majelis Pertimbangan, pun meminta Suharso untuk mundur dari posisi Ketum DPP PPP.
Namun konon permohonan itu tidak diindahkan oleh Suharno. Alhasil, muncullah Mukernas DPP PPP di Serang Banten tersebut, yang tidak diduga oleh banyak orang.
Tapi betulkah bahwa kasus “Ampol Kyai’ itu menjadi satu-satunya pemicu pelengseran Suharso dari Kursi Ketum DPP PPP? Menurut Achmad Baidowi, wakil Sekjen DPP PPP, di acara Talkshow TVOne menyatakan bahwa itu salah satunya, berarti bukan satu-satunya.
Faktor Selain Amplop Kyai
Sejatinya sebelum muncul kasus ‘Ampol Kyai’ partai ka’bah tersebut sedang berada dalam posisi yang kurang menguntungkan, untuk tidak mengatakan mengkhawatirkan.
Dari berbagai survey yang dilakukan oleh beberapa lembaga survey politik, PPP selalu diprediksi akan menjadi salah satu partai politik yang gagal menembus Parlementiary Threshold (ambang batas parlemen 4%), alias akan gagal masuk ke Senayan.
Dari berbagai survey, suara PPP diprediksi gagal tembus 4%, karena selalu berada di range 1-3%. Meski hasil survey tersebut bukan jaminan 100% valid, karena banyak juga hasil survey yang meleset dari realitas yang ada. Tetapi hal itu tetap saja menimbulkan keresahan dan kegalauan di kalangan kader PPP, baik di tingkat bawah hingga atas.
Selain itu, kasus keretakan rumah tangga sang ketum juga dinilai berpotensi mempengaruhi soliditas dan reputasi partai. Mengingat istri ketua umum PPP tersebut adalah kader atau fungsionaris DPP PPP. Hal itu tentu dikhawatirkan akan mengganggu kondisi internal PPP.
Apalagi kasus keretakan rumah tangga sang ketua umum menjadi konsumsi pemberitaan media nasional, sehingga banyak diketahui oleh publik. Orang-orang yang tidak suka dengan PPP mungkin akan nyinyir dan bilang, ”Ngurus rumah tangga saja tidak becus, apalagi ngurus partai!”
Nyinyiran dan sindiran itu walau tidak 100% benar, tentu saja akan merugikan elektabilitas dan ekseptabilitas PPP pada Pemilu dan Pilpres 2024 mendatang, karena bisa mempengaruh psikologis pemilih.
Masuknya PPP ke dalam gerbong KIB (Koalisi Indonesia Bersatu) bersama Golkar dan Pantai Amanat Nasional (PAN) juga disinyalir menjadi salah satu penyebab. Apalagi muncul isu bahwa KIB akan mengusung tokoh diluar Anies Baswedan.
Tepatnya, akan menjadi kendaraan bagi Ganjar Pranowo untuk nyapres, jika dirinya tidak diusung oleh PDIP. Terbukti beberapa waktu lalu Projo hadir dalam acara KIB, padahal Projo santer diisukan akan meng-endorse Ganjar sebagai Capres. Sementara kalangan grassroot PPP sendiri dikabarkan banyak yang menginginkan Anies sebagai Capres yang diusung PPP dalam Pilpres 2024 mendatang.
Di samping itu, ‘hilangnya’ aktivis/kader Muhammadiyah dan Parmusi di tubuh kepengurusan PPP, mulai tingkat cabang hingga pusat juga menjadi faktor melemahnya suara partai tersebut.
Jamak diketahui bahwa pasca Reformasi pimpinan teras PPP mulai daerah hingga pusat, banyak dijabat kader-kader dari kalangan NU, mulai dari posisi ketua umum hingga sekjen dan lain-lain.
Padahal dalam sejarahnya, PPP yang lahir pada 5 Januari 1973 itu merupakan fusi dari empat partai politik, yaitu Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi).
Selama masa Orde Baru (Orba), PPP berhasil mencatatkan prestasi yang cukup baik. Menjadi satu-satunya partai politik yang mewakili aspirasi umat Islam, dan kepengurusannya cukup solid karena merupakan perpaduan antara kader Muhammadiyah/Parmusi dan NU, atau sebaliknya.
Tokoh-tokoh dari kalangan Muhammadiyah atau Parmusi yang pernah mewarnai kepengurusan PPP antara lain Ismail Hasan Metareum, Bachtiar Chomsyah, Ali Hardi Kyai Demak, KH. Muammal Hamidy, Usamah Hisyam, dan lainnya.
Sayangnya setelah Reformasi perpaduan antara kader NU dan Muhammadiyah itu kurang terlihat lagi. Akibatnya, dalam beberapa kali kontestasi Pemilu di tanah air di era Reformasi suara PPP makin menyusut.
Terakhir pada Pemilu 2019, PPP hanya memperoleh 4,52% suara (6.323.147 suara), berada di posisi sembilan atau urutan buncit di Senayan, dengan jumlah kursi DPR-RI hanya 19 kursi.
Kondisi PPP yang kurang menguntungkan tersebut tentu tidak gampang bagi nakhoda baru Muhammad Mardiono (Plt Ketum), untuk mereparasi atau mengatrol kembali suara PPP pada Pemilu 2024 mendatang. Apalagi waktu yang tersisa kurang dari 2 tahun lagi.
Posisi Wantimpres saat ini dan juga Wakil Ketum saat PPP dipimpin Romahurmuziy, bukan jaminan baginya akan mampu menjadi ‘penyelamat’ PPP. Kecuali, dia bisa memperbaiki kondisi internal PPP, membuat program fenomenal bagi calon pemilih, dan merangkul kembali kalangan Muhammadiyah/Parmusi ke dalam jajaran kepengurusan PPP yang solid, mulai tingkat bawah hingga pusat.*
Penulis adalah pemerhati ekonomi-politik dan aktivis Muhammadiyah, tinggal di Kota Depok Jawa Barat