18 Tahun Lumpur Lapindo: Keadilan Bukan Hanya Urusan Ganti Rugi

Semburan lumpur Lapindo menjadi trauma dan ancaman bagi warga yang tinggal di sekitar lokasi tambang (Foto: VOA/Petrus Riski).

J5NEWSROOM.COM, Surabaya – Bagi Mohammad Irsyad, warga desa Besuki, kecamatan Jabon, Sidoarjo, Jawa Timur, kata “keadilan” tampak begitu asing dalam kamus kehidupan yang ia jalani. Tragedi luapan lumpur panas Lapindo Brantas yang terjadi pada 29 Mei 2006 mengubah drastis hampir segala aspek dalam kehidupan ia dan keluarganya.

Kini 18 tahun berlalu sejak tragedi nasional tersebut, Irsyad merasa bahwa pemerintah seakan melepaskan tanggung jawab mereka terhadap para korban selepas memberikan ganti rugi. Irsyad merupakan bagian dari gelombang terakhir warga yang akhirnya harus pindah dari tempat tinggal mereka sebelumnya.

“Ketidakadilan ini saya rasa sejak dari awal kasus Lapindo. Misalnya, saya Besuki timur, sawah sudah terendam tidak bisa digarap lagi. Kami menuntut ganti rugi gagal panen, yang pertama, selanjutnya kita tidak bisa menggarap itu sedangkan itu [mata pencarian] satu-satunya. Coba bayangkan sampai 2012 baru ada penanganan. Jarak sekian lama, ini sepertinya kalau mau hidup ya silahkan usaha sendiri, kalau enggak ya saya tidak tahu,” ujar Irsyad kepada VOA.

Semburan lumpur panas Lapindo sendiri telah menenggelami ribuan rumah, bangunan fasilitas publik, sawah, tempat usaha, hingga pemakaman. Semuanya tenggelam tanpa bekas di dalam tanggul lumpur yang kini tingginya mencapai 12 meter, mengelilingi tiga desa di wilayah kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin.

Akibat semburan lumpur panas tersebut, ribuan warga terpaksa pindah dari tempat tinggal dan tanah leluhurnya. Sebagian pindah tak jauh dari lokasi tempat tinggal mereka sebelumnya, sementara yang lainnya harus pergi jauh dari kampung asal mereka.

Namun masalah tidak selesai begitu saja seusai para warga yang terdampak pindah dan menerima ganti rugi. Abdul Rokhim, warga desa Besuki lainnya yang kini bermukim di desa Pangreh, tidak jauh dari lokasi tanggul lumpur, mengaku kesulitan saat harus memulai semuanya dari awal. Beradaptasi dengan lingkungan dan warga yang baru serta kesulitan mendapatkan pekerjaan menjadi tantang yang harus ia jalani seusai pindah ke tempat baru.

“Ketika sudah pindah, kita juga gak enak atau bisa lega, tidak juga, karena semua kembali kepada Nol lagi. Ketika orang yang biasa ke sawah [tidak bisa lagi], itu susah juga, bagaimana dengan misalnya pindah ke desa yang baru untuk sawahnya. Jadi, relasi-relasi itu harus kita mencari dari nol lagi,” ungkap Rokhim.

Di antara warga yang memilih pindah, Lilik, warga desa Gempolsari, kecamatan Tanggulangin, menjadi bagian dari rombongan yang memilih untuk bertahan.

“Karena belum terdampak, katanya sih, katanya di perkantoran desa begitu, katanya belum terdampak, tapi yang sebelah selatan (jalan desa) sudah pindah semua, sudah terdampak,” kata Lilik.

Pemerintah kala itu menetapkan wilayah Gempolsari sisi selatan sebagai area terdampak luapan umpur. Sedangkan sisi utara desa tidak dikategorikan menjadi area terdampak. Padahal, kedua area tersebut hanya dipisahkan oleh jalan desa yang terletak di utara tanggul lumpur.

Hingga kini, Lilik dan warga lain harus rela merasakan dampak lumpur Lapindo, terutama pada kualitas air sumur dan udara yang mereka hirup setiap hari. Lilik dan suaminya yang tidak diakui sebagai warga terdampak, berusaha bertahan hidup dengan berdagang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Meski pas-pasan, ia beserta warga yang lain harus mengeluarkan biaya tambahan untuk pemeriksaan kesehatan.

“Saya bersama suami hidup sederhana dengan hidup seadanya, kami juga seorang pedagang yang penghasilannya biasa-biasa saja, tidak terlalu banyak, jadi pokoknya bisa mencukupi kebutuhan kami sehari-hari, meski pun itu ya agak sulit, penghasilan sekarang yang ya berkurang dengan adanya Lapindo seperti itu, juga pengaruh dengan kesehatan kami,” tambahnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur sebelumnya menemukan adanya temuan Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) melampaui baku mutu pada 20 titik sampling sumur dan air irigasi warga yang tinggal di sekitar area luapan lumpur.

Bambang Catur Nusantara, Koordinator Pos Koordinasi untuk Keselamatan Korban Lumpur Lapindo (Posko KKLuLa), mengatakan dampak lumpur Lapindo masih berlangsng dan dirasakan warga hingga kini, meski urusan pembayaran ganti rugi warga yang masuk peta area terdampak hampir tuntas. Hasil pengecekan kualitas udara pada 2016 hingga Mei 2024 dengan melihat indikator sulfur, hidrogen sulfida, dan klorin, membenarkan dugaan awal mengenai kualitas udara di kawasan seputar tanggul lumpur yang buruk.

“Kalau H2S-nya (Hidrogen Sulfida] tinggi, maka sebenarnya yang dipengaruhi dari kandungan ini adalah saluran pernafasan. Maka tidak heran kalau tren penyakit di wilayah Porong, Jabon, dan Tanggulangin itu yang paling tinggi ISPA,” ujar Bambang.

Walhi Jawa Timur bersama Posko KKLuLa sebelumnya mencatat adanya peningkatan jumlah penderita ISPA pada 2010 sebanyak 63.000 orang, lebih tinggi dari tahun 2005 sebanyak 23.000 orang. Catatan terbaru posko KKLuLa pada 2024 menunjukkan lebih dari 6.700 penderita ISPA tercatat di Puskesmas Porong, lebih dari 6.300 di Puskesmas Jabon, dan hampir 5.000 kasus terekam di Puskesmas Tanggulangin. Selain ISPA, penyakit seperti diare, batuk, demam, dan masalah otot, mendominasi di tiga puskesmas sekitar tanggul lumpur.

Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur, Wahyu Eka Setyawan, menyebut persoalan kesehatan masyarakat adalah hal serius yang harus diperhatikan, karena dapat memunculkan masalah baru di masa depan.

“Ini memang membuktikan bencana lumpur panas Lapindo ini, memang punya dampak yang sifatnya jangka panjang. Mungkin hari ini kita tahu ISPA, tapi bisa jadi akan ada penyakit-penyakit lain yang kemungkinan besar salah satu faktornya adalah dampak dari keberadaan lumpur panas,” kata Wahyu.

Sementara itu, staf pengajar Departemen Anatomi dan Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Surabaya, Adhimas Setyo Wicaksono, mengatakan paparan terhadap kandungan logam berat dan amonia dapat menyebabkan penyakit ISPA serta menimbulkan risiko penyakit kanker untuk jangka panjang.

Adhimas mengatakan, untuk meminimalisir risiko dampak lumpur warga dapat mengonsumsi antioksidan, meski hal itu tidak dapat menghilangkan seluruh risiko yang ada. Relokasi warga kata Adhimas, menjadi pilihan yang dapat diambil untuk menghindarkan warga dari masalah kesehatan, selain menyadarkan kepada warga agar tidak menganggap dampak lumpur Lapindo sebagai hal yang biasa.

“Paparan pencemarannya itu kan makin lama makin banyak, dan radiusnya juga semakin meluas. Nah, kalau dipaksakan untuk tinggal nanti bisa terjadi timbul banyak hal mulai dari penyakit kulit, iritasi, bisa jadi lebih parah lagi ke kanker, karena ada pb, timbalnya kan pencemarannya.”

Sosiolog dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya, Malang, Anton Novenanto, menyebukan bahwa PT Lapindo Brantas sebagai aktor penyebab munculnya tragedi tersebut semakin direduksi peran dan tanggung jawabnya.

Anton mengatakan, perlu adanya penguatan masyarakat sipil untuk melakukan perlawanan melalui upaya-upaya konkret dalam membangun ingatan warga, khususnya di daerah rawan konflik antara warga dan industri ekstraktif. Ia mengungkapkan, gerakan masyarakat sipil diperlukan untuk menyadarkan warga agar tidak lagi menganggap peristiwa lumpur Lapindo sebagai hal yang biasa, dan telah dianggap selesai.

“Bagaimana kita menyikapi negara yang semacam ini, karena kita tidak mungkin membiarkan negara ini seperti ini terus. Itu adalah salah satu bagian dari normalisasi, mewajarkan negara ini memang sudah sewajarnya untuk tidak bertanggung jawab, itu suatu pembiaran juga oleh kita sebagai masyarakat sipil,” kata Anton.

“Dan persoalan yang menurut saya paling krusial adalah, di mana memperkuat civil society, yang menurut saya sampai saat ini kegagalan dari reformasi, atau pun bahkan proyek revolusi 45, itu adalah tidak ada masyarakat sipil, civil society itu dikroposi terus,” tambahnya.

Pusat Pengendalian Lumpur Sidoarjo (PPLS), Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), melalui laman resminya menyatakan terus melakukan program penanganan infrastruktur pengendalian semburan lumpur Sidoarjo. Kepala Pusat Pengendalian Lumpur Sidoarjo, Maksal Saputra, melalui keterangan persnya mengatakan pemerintah tetap melanjutkan program penanganan infrastruktur untuk memastikan penanganan kepada masyarakat yang terkena dampak tetap menjadi prioritas.

Kementerian PUPR juga telah mengalokasikan Rp287 miliar untuk penanganan utama, yaitu pengaliran lumpur ke sungai Porong, peningkatan tanggul penahan lumpur hingga 2 km per tahun, serta pembangunan 10 embung atau kolam penampungan air secara bertahap. Kedepan, PPLS juga telah merencanakan area yang sudah dibebaskan, akan menjadi kawasan geowisata. 

Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah