Rupiah Melemah Terhadap Dolar, Pemerintah: Ekonomi Tetap Stabil

Seorang karyawan menunggu pelanggan di sebuah mall di Denpasar, Bali pada 5 Mei 2023. (Foto: AFP/Sonny Tumbelaka)

J5NEWSROOM.COM – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa meskipun nilai tukar rupiah terkoreksi hingga mencapai Rp16.400 belakangan ini, perekonomian Indonesia tetap menunjukkan stabilitas yang kuat. Hal ini didukung oleh berbagai indikator ekonomi makro positif, seperti penjualan ritel dan kondisi kredit perbankan yang masih solid.

“Kalau kita lihat dari fundamental, seperti indeks penjualan riil masyarakat yang mencerminkan konsumsi masyarakat mengalami pemulihan terutama pada Mei, Juni ini. Kemudian Mandiri Spending Index (MSI), confidence masyarakat, konsumsi semen, konsumsi listrik, PMI semuanya masih dalam relatif terjaga dan ini menjadi fondasi yang cukup baik untuk memproyeksikan pertumbuhan ekonomi kita di kuartal-II ini yang masih terjaga seperti yang terjadi di kuartal-I,” ungkap Sri Mulyani usai mengadakan rapat terbatas pada Kamis (20/6) malam.

Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang terdiri dari Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia (BI) Ketua Dewan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menggelar rapat untuk membahas melemahnya rupiah.

Indikator lainnya, lanjut Sri Mulyani, juga terlihat juga kredit perbankan yang mengalami kenaikan. Hal ini tercermin dari ekspansi kredit, baik itu kredit investasi maupun modal kerja, dan konsumsi.

“Jumlah kredit growth juga mencapai 12,3 persen total peningkatan. Sementara dari dana pihak ketiga juga meningkat 8,1 persen,” tambahnya.

Dalam kesempatan ini, dia juga menegaskan bahwa pengelolaan APBN tahun ini akan tetap dilakukan dengan hati-hati untuk menghadapi tantangan seperti fluktuasi nilai tukar rupiah, perubahan harga minyak, dan hasil imbal dari Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan pemerintah. Menurut Sri Mulani, hal ini penting karena semua faktor tersebut akan berdampak pada struktur APBN di masa depan dan pembiayaannya.

“Kami juga berkoordinasi dengan BI, yang terus mencoba stabilitas nilai tukar dalam hal ini fiskal dan moneter bekerja dan berkoordinasi baik dalam dinamika market dan juga dinamika global yang tinggi dan proses transisi politik yang terjadi,” jelasnya.

BI Yakin Rupiah Menguat

Dalam kesempatan yang sama Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan berdasarkan indikator makro perekonomian yang positif seharusnya rupiah berada dalam tren yang menguat. Namun, karena faktor eksternal cukup kuat maka berdampak pada melemahnya nilai tukar mata uang tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara tetangga.

“Ada faktor teknikal, yang jangka pendek itu bisa berpengaruh pada nilai tukar jangka pendek. Contoh bulan Mei terjadi ketegangan geopolitik di Timur Tengah, kemudian pada waktu itu Fed Fund Rate yang diperkirakan turun tiga kali, rupanya tidak jadi turun, paling banter akhir tahun ini cuma sekali,” ungkap Perry.

Menyikapi hal tersebut, BI kata Perry, merespons dengan menaikkan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) sehingga rupiah sempat melemah ke level Rp15.900 per dolar AS.

“Pada saat sekarang rupiah kemarin yang sudah menguat, melemah lagi. Faktornya apa? Faktor global masih, Fed Fund Rate masih tebak-tebakkan sampai akhir tahun dan menurut perkiraan kami sekali saja (penurunan Fed Fund Rate) cuma akhir tahun saja,” jelasnya.

Ferry menuturkan sejak akhir 2023 hingga saat ini, nilai tukar rupiah telah mengalami pelemahan sebesar 5,92 persen. Meskipun demikian, pelemahan ini masih tergolong cukup baik bila dibandingkan dengan pelemahan mata uang negara lain seperti won Korea Selatan yang mencapai 6,78 persen, bath Thailand 6,92 persen, peso Filipina 7,89 persen, dan yen Jepang 10,78 persen.

BI, kata Perry, akan terus berada di pasar untuk menstabilkan nilai tukar rupiah di antaranya dengan menggunakan cadangan devisa yang saat ini berada pada posisi $139 miliar.

“Kesimpulannya, rupiah secara fundamental trennya, jangan tanya hari per hari. Ini rupiah trennya akan menguat karena inflasi rendah, growth bagus, faktor fundamental itu bagus. dari hari ke hari, bulan ke bulan, minggu ke minggu faktor sentimen itu akan pengaruhi gerakannya,” tegasnya.

Dampak Pelemahan Rupiah

Ekonom CORE Indonesia Muhammad Faisal mengungkapkan apa yang dikemukakan oleh pemerintah terkait indikator makro ekonomi Indonesia yang masih stabil memang benar. Namun, katanya, pelemahan rupiah yang terjadi saat ini akan berdampak pada beberapa waktu ke depan.

“Tapi kalau pelemahan rupiah yang dikhawatirkan akhir-akhir ini, dampaknya belum terlalu kelihatan pada saat sekarang. Jadi, ada leg sedikit karena catatan makro seperti misalkan kuartal-I itu sudah dirilis 1-2 bulan yang lalu dan itu sudah lewat. Jadi semua catatan statistik adalah peristiwa yang sudah lewat. Sementara yang pelemahan nilai tukar rupiah itu terjadi mulai dari lebaran sampai saat ini, jadi itu lebih recent,” ungkap Faisal ketika berbincang dengan VOA.

Faisal menjelaskan, dampak yang akan terjadi ketika pelemahan rupiah ini berkepanjangan. Menurutnya, dampak signifikan akan terjadi kepada sektor riil yang banyak memanfaatkan bahan baku impor, baik itu industri manufaktur maupun infrastruktur sampai masyarakat umum sebagai konsumen.

“Industri-industri itu banyak bahan baku dan bahan penolongnya itu impor, hampir semua industri, mulai dari industri makanan, minuman, sampai tekstil, sampai yang paling tinggi itu obat-obat, industri farmasi, otomotif, elektronik. Jadi ini akan lebih mahal, bagi industri biaya produksi meningkat, bagi masyarakat juga (akan terkena) imported inflation,” jelasnya.

Sebelumnya CORE Indonesia, kata Faisal, memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada kuartal-II akan lebih rendah dibandingkan kuartal-I yang mencapai 5,11 persen, yakni di kisaran lima persen atau bahkan tergelincir di bawah lima persen. Hal ini disebabkan struktur pertumbuhan ekonomi yang paling penting, yaitu investasi dan konsumsi rumah tangga, melemah. Namun, pada kuartal pertama, pelemahan rupiah masih tetap mencatat level sebesar 5,11 persen, ditopang oleh aktivitas pemilu.

“Jadi, kalau yang dua fondasi terbesar penyusun ekonomi itu tumbuh lambat, maka berpotensi setelah lewat pemilu akan turun pertumbuhan ekonominya karena konsumsi rumah tangga dan investasinya tumbuh lambat sementara pemilu sudah lewat. Jadi kita perkirakan lebih rendah dibandingkan kuartal-I,” pungkasnya.

Sumber: voaindonesia.com
Editor: Agung