RABU, 5 Oktober 2022, kami berdua ngopi di kedai kopi yang sudah legend di Pekanbaru, Riau. Namanya, Kimteng. Memang, tidak di ‘mabes’ Kimteng yang di Jalan Senapelan. Di sana ramai dan harus antre untuk bisa duduk. Kami memilih Kimteng yang berada di lantai dua Senapelan Plaza.
Ada tiga alasan kami ngopi pagi hingga siang di situ. Pertama, kopi Kimteng memang ‘ngangeni’ bagi mereka yang sudah ‘kena’ dengan aroma dan cita rasanya. Sialnya, saya sudah ‘kena’ dengan aroma kopi Kimteng itu sejak masih bujang. Saat itu baru tahun pertama saya menjadi wartawan di Harian Pagi Riau Pos, tahun 1992 lalu.
Kedua, karena Senapelan Plaza adalah mall pertama yang hadir di Kota Pekanbaru. Di sinilah hadir pertama kali bioskop kelas 21. Kebetulan, akses depan Senapelan Plaza inilah yang hari-hari dulu saya lewati berangkat ngantor. Saat itu, kantor Riau Pos masih di Jalan Kuantan Raya.
Ketiga, karena pada hari itu, anggota Dewan Redaksi Majalah Siber Indonesia, J5NEWSROOM.COM ini, Dr. Muchid Albintani, MPhil akan memberi saya hadiah buku kumpulan puisinya, berjudul, Sajak Sajak Rindu ‘Dini’.
Ada dua ‘rindu’ yang kami obrolkan sambil menikmati kopi Kimteng. Pertama, rindu pengalaman saat kami sama-sama masih menjadi wartawan Harian Riau Pos. Ketika dunia pers saat itu masih penuh dinamika dan tekanan rezim penguasa. Ada hantu yang menakut-nakuti dunia pers saat itu, pembredelan. Tempo dan Prioritas sudah mengalaminya!
Lalu, rindu kedua yang kami obrolkan adalah ‘Rindu Dini’. Rindu yang saya sendiri juga tidak terlalu mengerti. Karena soal ‘rindu’ dan ‘Dini’-nya saja masih perlu harus didalami dari rangkaian kata demi kata dalam buku Sajak Sajak Rindu ‘Dini’ itu.
Untunglah, sahabat kami sesama wartawan Riau Pos, Kazzaini Ks membantu saya memahami ‘Dini’ itu. Sayangnya, Om Kai, demikian saya biasa menyapanya, tidak bisa ngopi bareng kami. Karena saat itu, Om Kai sedang dirawat di Rumah Sakit Awal Bros, karena tulang tangan kirinya patah.
Untuk lebih mencoba memahami soal ‘rindu’ dan ‘Dini’, berikut ini tulisan epilog Kazzaini Ks.
Antara Muchid, ‘Rindu Dini’ dan Cinta
Oleh Kazzaini Ks
SUNGGUH, ‘Rindu Dini’ mengingatkan saya akan Rummi (Jalaludin Rumi) dan Gibran (Khalil Gibran). Mengingatnya dilatarbelakangi sedikit banyak tatkala Rindu yang diapresiasi sang penulis sebagi Cinta yang menseduksi saya untuk mengingat-ingat kembali Rumi juga Gibran.
Ingatan ini pula yang menjadikan saya mendapat kelapangan menjalankan ‘tugas berat’ yang dimanahkan Saudaraku Muchid Albintani, khusus memberikan kata penutup (epilog) dalam antologi puisi perdananya.
Saya bertanya, “mengapa kumpulan sajak ini diberikan tajuk Rindu ‘Dini’? Kemudian, kata Dini mengapa harus diberikan tanda dua koma di atas?” Mengapa bukan Rina? Apakah si penulis sedang jatuh cinta? Jatuh cinta yang ke berapa kali?
Berdasarkan beberapa pertanyaan itulah menurut saya, apa yang diargumentasikan Muchid dalam kata sambutanya (pengantar penulis) itu, saya tidak sependapat. Saya tetap berkeyakinan Muchid sedang jatuh Cinta! Walaupun saya menyadari dan meyakini jika persepsi ini memang benar, tetapi tidak seratus persen. Kalau Cinta ditafsirkan perasaan dari seseorang kepada orang lain itu wajar, lumrah dan biasa serta menjadi kelaziman umum.
Saya tidak ingin berdebat dengan Muchid tentang Cinta. Tidak salah atau bolehlah saya kritisi walaupun sedikit membongkar motivasi yang melatarbelakangi Rindu Dini berbeda dengan penulisnya. Sebagi contoh terkait Puisi, ‘Dengan Sajak Aku Mengadu’…. [Sajak Di Penghujung Waktu, bagian V atau pada sajak ke-7] sebagai berikut”:
Sungguh agar kau tahu,
aku bukan penyair,
apalagi sastrawan seperti gibran dan abduh
Aku hanyalah seonggok beban
yang begitu persepsi ku
ketika pasti kau menilaiku
Sungguh terserah saja apa anggap mu
tentang ku, yang hanya dengan
sajak aku mengadu,
Ingin mengadu pada polisi
agar menangkap mu ketika terbukti
hatimu tak pernah sanggup kucuri
Ingin mengadu pada jaksa
agar menuntut mu karena terus saja
berkilah kau telah ada yang punya
Ingin mengadu pada mbah dukun
seperti alam, agar kau disembur
dengan sumpah serapah dan mantra
tapi tak mungkin
Ingin mengadu pada pak hakim
agar kau diadili lalu mendapat
hukuman satu hari saja untuk
menemaniku berbincang tentang
sawit, greenpeace, hokum dan profesimu
Ingin mengadu pada yang Maha
agar aku tak lagi harap pada yang
berharap, tentulah kau
yang kumaskud! [Dari negeri aduan 2014].
Merujuk sajak yang bertajuk, ‘Dengan Sajak Aku Mengadu’, kesan saya sementara, seolah-olah tidak ada konsistensi antara contoh yang saya maksud dengan sajak ini.
1