Oleh Akmal Nasery Basral
1/
PERGI ke masjid, atau gereja, dengan bersepeda itu hal biasa. Berbeda jika harus menempuh jarak 8.000 km, yang atlet sepeda profesional pun belum tentu bisa.
Sebab, bukan hanya kekuatan otot kaki dan kebugaran tubuh yang menjadi tumpuan. Yang lebih dibutuhkan adalah kecintaan tak tertakar terhadap Rabb alam semesta sebagai energi pengobar. Ini yang tak dimiliki setiap orang kecuali pribadi tangguh seperti Ari Yami, 28 tahun.
Sejak akhir pekan lalu pemuda Majalengka ini sudah memasuki Madinah, sedang menyiapkan diri menuju rute pamungkas ke Mekkah.
Untuk tiba di Madinah, Ari yang berangkat pada 8 Januari 2024 dari kampung kelahirannya butuh waktu 185 hari. Tentu tidak terus menerus di atas sadel sepeda karena dia bukan robot. Tetap butuh istirahat, tidur, juga beribadah di sepanjang perjalanan.
Tidak semua rute dijalani Ari dengan mengayuh sadel. Ada saatnya menggunakan ferry penyeberangan jika bertemu laut, bahkan naik pesawat terbang jika harus melewati daerah konflik–sepeda disimpan di bagasi pesawat. Bagaimana pun juga keselamatan diri tetap prioritas utama. Ini terjadi saat dia memilih terbang dari India ke Oman karena sangat berisiko jika harus melewati kawasan rawan kekerasan di Pakistan, Afghanistan, Irak dan Iran. Dari Oman, Ari kembali mengayuh pedal sepeda menuju Tanah Suci.
Pada bulan Ramadan, Ari yang sudah memasuki Thailand juga tetap menjalankan ibadah puasa seperti umat Islam lainnya seperti diberitakan koresponden BBC Trisha Husada yang mewawancarainya di Masjid Sadao, Provinsi Songkhla, Thailand Selatan, pada 19 Maret 2024.
2/
Ari baru empat tahun bersepeda. Sampai November 2020–saat itu umurnya 24—dia masih bekerja sebagai staf marketing sebuah toko ponsel di Tangerang, Banten. Namun pesan sebuah ayat suci terus terngiang-ngiang di lubuk jiwanya: “ Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS 67: 15)
Tekadnya kian bulat untuk menjadi Ibnu Batutah abad modern. Dia berhenti kerja dan membeli sepeda pada Januari 2021. Target pertamanya membuat ciut kebanyakan orang: menjelajahi Indonesia di atas sadel. “Sepeda adalah sarana transportasi paling sesuai untuk turis ransel yang pas-pasan ( backpacker),” katanya sebelum tersenyum tipis. “Selain juga ada faktor patah hati ditolak cinta.” (Wajarlah, namanya juga anak muda. Yang penting move on, Ari!).
Selama tiga tahun berikutnya dia kunjungi 29 provinsi tanah air. Hanya kurang 9 provinsi lagi berdasarkan data 2024 yang menyebutkan Indonesia kini terdiri dari 38 provinsi dengan lahirnya provinsi baru berdasarkan pemekaran wilayah.
Setelah puas mengunjungi pojok-pojok Nusantara, Ari pasang tujuan lebih tinggi: umroh ke Tanah Suci. Tentu dengan bersepeda.
Jurnal digital perjalanan hariannya bisa diikuti pada akun IG @ariyami_ dan TikTok. Sudah lebih dari 5 juta orang yang menonton, baik sekadar memantau saja seperti saya, atau yang mungkin bagi yang terinspirasi untuk melakukan hal serupa.
3/
Ari jelas sosok istimewa dengan ketangguhan dan keuletannya menyusuri ribuan kilometer aspal yang dipanggang panas, disiram hujan deras, namun dia bukan satu-satunya yang ingin bertamu ke Rumah Tuhan dengan bersepeda dari Indonesia.
Sebelumnya ada Sayudi Prastopo yang memasuki Tanah Suci pada 7 Mei 2024. Pedal sepeda dikayuhnya dari Jakarta mulai 16 November 2023 atau sekitar tujuh bulan perjalanan.
Untuk tahun ini, selain Sayudi dan Ari Yami, setidaknya masih ada lima orang lainnya lagi yang sedang dalam perjalanan ke Tanah Suci dengan bersepeda.
“Ada joke populer di komunitas pesepeda,” ungkap Ketua Bike2Work, Glen Fahmi Saimina. “Kalau ingin berhaji biasanya nunggu waktu 6-10 tahun, maka dengan bersepeda cukup dengan waktu 6 bulan,” katanya.
Berdasarkan data yang saya miliki, pesepeda asal Indonesia lainnya yang pernah memasuki Tanah Suci dengan duduk di atas sadel sepeda adalah Muhammad Fauzan asal Magelang, dua tahun silam. Kisah perjalanannya sampai diliput media Arab Saudi Al Khaleej dalam artikel berjudul “Mengayuh Sepeda Sejauh 8.000 km Untuk Menunaikan Ibadah Haji” pada 8 Juni 2022. Awalnya, Fauzan ingin menggunakan motor. Namun setelah menimbang matang-matang untung ruginya, dia putuskan untuk menggunakan sepeda sebagai alat transportasi.
Yang tak kalah spektakuler adalah pasangan pengantin baru Rafli Purnama dan Zahra Ahzena, asal Cimahi, Jawa Barat. Rafli pernah gowes ke 25 provinsi tanah air, dan Zahra menyambangi 7 provinsi. Maka, cara mereka mensyukuri ikatan tali cinta adalah dengan umroh bersepeda yang dimulai pada 24 Februari 2024 lalu. Belum terdengar berita mereka sudah memasuki Tanah Suci sampai tulisan ini dibuat.
Abdul Rahman (35 tahun) asal Bandar Lampung juga mencatatkan diri sebagai jamaah umroh dengan sepeda. Dia berangkat dari Lampung pada 10 September 2023 dan memasuki kawasan Tanah Suci satu hari sebelum Ramadan lalu, atau pada 11 Maret 2024 Waktu Timur Tengah.
Jika Abdul Rahman menempuh perjalanan sekitar 7 bulan, waktu yang ditempuh Supriyadi asal Tangerang Selatan, Banten, lebih fantastis karena hanya 4 bulan saja. Padahal usianya sudah 64 tahun. “Saya memang sudah lama pasang niat untuk naik haji dengan bersepeda pada umur 63 tahun,” ujar lelaki yang biasa dipanggil Abah Supriyadi ini.
Maka pada 24 September 2023 Abah memulai kayuhan pertama dari Masjid Al Ikhlas, Cilenggang, Serpong, Tangerang Selatan. Sampai Batam dia mengayuh seorang diri. Namun di Batam bertemu dengan Winaryo Sutarmo (43 tahun), pesepeda asal Karimun yang juga ingin ke Tanah Suci. Keduanya bergabung dan menjadi teman seperjalanan sampai memasuki Mekkah pada 11 Januari 2024. Hanya dalam empat bulan!
Dari Tangerang, pada 2023, juga ada seorang pesepeda lainnya bernama Lutfi yang berhasil menjalankan umroh. Kisah perjalanannya ditampilkan dalam akun YouTube Alman Mulyana pada 15 Agustus 2023, atau sebulan sebelum keberangkatan Abah Supriyadi.
Mungkin masih ada lagi jamaah umroh Indonesia yang pergi ke Tanah Suci dengan bersepeda, namun luput dalam catatan saya yang terbatas ini.
4/
Modal utama Ari dan lain-lain pesepeda ke Tanah Suci adalah “self-efficacy” dan “self-resilience”.
Woolfolk (2004) mendeskripsikan “self-efficacy/efikasi diri” sebagai keyakinan diri seorang individu terhadap kemampuannya untuk mencapai tujuan dan target tertentu yang diinginkan.
Sedangkan “self-resilience” atau resiliensi diri merupakan kemampuan daya tahan seseorang atau daya lenting yang dimiliki oleh setiap individu, untuk mampu bertahan dalam menghadapi permasalahan, kesulitan dan tekanan, serta kemampuan beradaptasi dengan beragam kondisi, agar tetap fokus mencapai tujuannya.
Jika karakter “self-efficacy” dan “self-resilience” yang bersifat individual ini bisa dikembangkan menjadi sikap komunal warga negara—tentu tidak harus dalam bentuk bersepeda ke Mekkah, melainkan dalam bentuk kegigihan dalam mengejar tujuan–maka akan menjadi modal sosial yang sangat berguna. Setidaknya bagi Gen Z yang sedang menjadi bonus demokrasi pembangunan akibat jumlah mereka yang berlimpah.
Pemerintah perlu mengekstrak keunggulan karakter dan sikap efikasi diri dan resiliensi diri para pesepeda ‘ Road to Mecca’ dalam sebuah studi mendalam agar bisa dikembangkan menjadi formula sosial yang diterapkan lebih luas untuk meningkatkan sikap pantang menyerah generasi muda menghadapi tantangan hidup. Setidaknya sebagai antitesis dari sebuah data pesimistik yang menyatakan bahwa hampir 10 juta Gen Z di Indonesia adalah pengangguran (BPS, Mei 2024).
Bayangkan jika 10 juta anak muda memiliki efikasi diri dan resiliensi diri seperti Ari, Sayudi, Fauzan, Rafli, Zahra, dan lainnya, maka mereka akan menjadi modal pembangunan yang menguntungkan, bukan menjadi beban yang mengkhawatirkan seperti kecemasan sebagian ekonom dan ilmuwan sosial.
Untuk itu, Kemenko PMK (Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan) harus menjadi lokomotif dalam mempelajari dan mencangkok spirit “Road to Mecca” para pesepeda individual menjadi sikap baru masyarakat, sehingga membuat Indonesia pun semakin memiliki efikasi diri dan resiliensi diri lebih mumpuni sebagai bangsa terkemuka di antara bangsa-bangsa lain di dunia. Bukan dikenali sebagai bangsa dengan tingginya angka korupsi dan bobroknya birokrasi yang merupakan warisan generasi tua.
Cibubur, 23 Juli 2024
Penulis adalah Penerima Anugerah Sastra Andalas 2022 kategori Sastrawan/Budayawan Nasional