Oleh Dahlan Iskan
BAGAIMANA cara menyikapi perkembangan yang terjadi di tubuh Golkar yang begitu dahsyat sekarang ini?
Pilihan 1: Prihatin.
Ini adalah pilihan di kalangan masyarakat yang menjunjung tinggi moralitas. Mereka prihatin bagaimana moralitas politik tercampakkan begitu nyata.
Pilihan 2: Cuek.
Ini adalah peristiwa di dalam internal Golkar. Tidak semua orang terlibat di Golkar. Sebagian besar kita bukan Golkar. Maka mayoritas merasa tidak terpanggil untuk menegakkan moralitas di rumah tangga orang lain.
Pilihan 3: Apatis.
Politik ya begitu. Sudah biasa. Hoping ciak kuping. Saling serobot kursi. Serobot suara. Jegal-menjegal. Tipu menipu. Etika? Gombal. Partai yang paling ideologis pun membuat Anies Baswedan limbung. Apalagi partai yang memang sudah terbiasa pragmatis.
Pilihan 4: Iri-Dengki.
Ini pilihan orang yang kalah. Tersisih. Golongan ini merasa terlibat dalam pertarungan tapi kalah. Bisa kalah karena kurang nekat, kurang menjilat, kurang sogok, kurang edan, dan kurang uang. Jumlahnya tidak banyak tapi terbaca. Apa pun alasannya, yang jelas mereka kalah dalam pertarungan.
Pilihan 5: Wait and See.
Ini datang dari kelompok yang bukan aliran optimistis tapi masih memiliki sedikit hope. Mereka percaya Gusti Allah mboten sare. Tuhan tidak tidur. Siapa tahu masih akan lahir kebaikan.
Pilihan 6: Tebak-tebak.
Mereka bertanya-tanya apa motif sebenarnya dari rangkaian peristiwa itu: apakah bermotif kepentingan kekuasaan semata atau ada motif kepentingan ideologis kenegaraan.
Misalkan motifnya semata untuk kepentingan kekuasaan. Di situ ada unsur harga diri, pengamanan diri, nepotisme, membangun oligarki, dan seterusnya.
Kalau motifnya ideologis kenegaraan di situ ada unsur misi kelangsungan pembangunan, stabilitas keamanan, kemajuan negara.
Bisa saja aslinya motif kekuasaan semata lalu dibungkus ideologis kenegaraan. Bisa juga memang benar-benar demi stabilitas jangka panjang.
Golkar adalah partai tengah yang pernah berkuasa lebih 30 tahun.
Kredo kenegaraannya adalah: trilogi pembangunan. Lalu: akselerasi pembangunan untuk bisa tinggal landas menuju kemakmuran negara.
Bagi yang punya aliran ideologis kenegaraan seperti ini etika bukan nomor satu. Dalam proses pencapaiannya, kalau harus ada yang jadi korban itu konsekuensi biasa. Di mata mereka menguatnya ideologi kanan dan kiri itu ancaman.
Anda termasuk pilihan yang nomor berapa? Atau punya pilihan sikap sendiri?*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia