Oleh Imam Shamsi Ali Al-Kajangi*
DARI catatan yang lalu dijelaskan bahwa “ketauldanan Rasulullah” itu mencakup seluruh aspek kehidupan. Dari sisi ‘aqadiyah-imaniyah (akidah dan keimanan), ubudiyah (urusan ibadah ritual) hingga kepada aspek-aspek mu’amalat dan khuluqiyah (hubungan sosial dan prilaku karakter). Semua itu dapat ditujuk kepada keindahan ketauladanan yang dicontohkan oleh baginda Rasulullah SAW.
Sayangnya umat seringkali membatasi diri dalam memahami makna ketauladanan ini. Sebagian mencontoh secara ketat aspek ubudiyah ritual Rasulullah. Sesuatu yang memang harus karena semua urusan ubudiyah harus memilki acuan langsung dari Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam akidah Ushul Fiqh dikenal: “al-Ashlu fil ibaadaat at-tawaaquf” (dasar hukum ibadah ritual itu tidak melakukan). Melalukan ibadah hanya ketika ada perintah atau acuan Allah (Al-Kitab) dan RasulNya (As-Sunnah).
Masalahnya kemudian acuan Al-Kitab dan As-Sunnah itu memerlukan “fiqh” yang pastinya berporses melalui tafaqquh (pemahaman) dan ijtihad atau proses interpretasi. Dan ketika sudah bersentuhan dengan “tafaqquh dan ijtihad” pasti akan membawa kepada beberapa cara pandang atau pemahaman (interpretasi) yang bisa ragam. Hasilnya kita lihat keberadaan beberapa madzhab yang menjadi rujukan umat yang satu.
Selain ketauladanan Rasulullah dalam ubudiyah juga ada aspek-aspek lain yang menjadi realita dalam kehidupan umat. Misalnya menauladani prilaku personal Rasulullah dalam berpakaian. Maka ada saja dari kalangan umat ini yang melihat bahwa pakaian yang sunnah adalah pakaian yang ketika itu dipakai sehari-hari oleh Rasulullah. Baju jubba yang populer di kalangan Arab atau shalwar gamiz di kalangan Asia Selatan lengkap dengan sorbannya. Inilah kerap diakui sebagai pakaian Sunnah ala Nabi.
Keterbatasan dalam memahami makna “uswah” menjadikan umat ini seringkali cepat menghakimi sesama (judgmental). Umat Islam Indonesia misalnya yang lebih sering memakai baju koko dan sarung plus songkok dianggap kurang Sunnah. Hal itu karena Rasulullah tidak memakai pakaian yang demikian. Runyamnya lagi umat Islam Indonesia sendiri sering merasa kurang iman hanya karena tidak memakai pakaian ala Arab atau Asia Selatan.
Belum lagi ketika kita berbicara tentang ketauladanan dalam hal penampilan fisik Rasulullah SAW. Bahwa beliau bejanggut panjang karena memang tabiat pribadinya (individual nature) sebagai orang Arab yang memiliki janggut. Pemahaman terbatas tentang menauladani panjang janggut ini seringkali menjadi masalah pula. Saya termasuk seorang Imam yang sering dipandang sebelah mata karena kurang janggut.
Padahal hadits tentang janggut jelas: (biarkan janggut). Kata “biarkan” tidak bermakna panjang pendek ukuran. Tapi membiarkannya tumbuh sesuai kadar yang Allah karuniakan. Bahkan boleh ada yang memang tidak tumbuh sama sekali. Dan hal itu tidak mengurangi sama sekali keimanan dan komitmen ketaatan dalam menauladani Rasulullah SAW.
Itu beberapa hal yang menjadi catatan dalam memahami ketauldanan (al-uswah / al-Qudwah) kepada baginda Rasulullah SAW. Jangan karena ras/etnik tertentu dengan budaya tertentu pula lalu merasa lebih dekat kepada Sunnah dibanding yang lain. Semuanya harus ditempatkan pada posisi yang proporsional.
Muhammad SAW adalah Rahmah
Selain dikenal sebagai “al-Uswah al-hasanah” (suritauladan yang baik), dalam Al-Qur’an Rasulullah SAW juga disebut sebagai “rahmah” (kasih sayang). Allah berfirman: (dan Aku Kami tidak mengutusmu kecuali sabagai rahmah bagi seluruh semesta).
Sebelum saya menjelaskan tentang apa makna kasih sayang atau rahmah, saya kembali mengingatkan kekeliruan atau kesalahan dalam memahami makna rahmah. Pada umumnya umat Islam memahaminya pada aspek-aspek terbatas dari kehidupan Rasulullah SAW. Khususnya dalam hal karakter pribadinya. Bahwa Rasulullah itu lembut, baik, bijak, dan seterusnya benar dan mulia. Tapi memahami kasih sayang pada aspek itu semata tentu menyempitkan makna rahmah bahkan membatasi deskrikpsi kemuliaan Rasulullah SAW sebagai “insan Kamil” (manusia sempurna).
Karenanya “Rahmah” harus dipahami secara luas dan menyeluruh. Bahwa Rasulullah sebagai representasi kasih sayang itu harus dilihat secara mendasar pada sosok kepribadiannya, Iya harus. Tapi lebih mendasar lagi kasih sayang itu harus dilihat pada misi kerasulannya. Misi karasulan inilah yang disebut “hidayah” dalam bahasa Al-Qur’an. Sebagaimana Allah berfiman: “dan sesungguhnya engkau pasti menunjuki ke jalan yang lurus” (Surah As-Syura: 52).
Hidayah sebagai rahmah ini mencakup kehidupan manusia secara menyeluruh (kaaffah). Baik pada tataran kehidupan personal (individual) maupun kehidupan sosial (komunal). Pada aspek individual saya tidak lagi akan tuliskan. Karena beberapa waktu lalu saya telah menulis panjang tentang hal ini dengan judul memahami hidayah).
Yang ingin saya elaborasi kali ini adalah rahmah Rasul pada tataran kehidupan sosial (kolektif atah jama’i). Rahmah pada koneksi sosial ini saya menyebutnya sebagai “transformasi” atau perubahan mendasar dalam kehidupan manusia secara kolektif. Dengan demikian ketika Rasulullah disebut sebagai “rahmah” saya menyebutnya sebagai “Muhammad the transformer”. Bahwa Rasulullah SAW itu adalah sosok transformer yang telah hadir membawa perubahan mendasar dalam kehidupan kolektif manusia.
Apa dan bagaimana transformasi komunal yang telah dibawa oleh Rasulullah SAW?
Jamaica City, 14 September 2024
Penulis adalah Presiden Nusantara Foundation, Putra Kajang di Kota New York Amerika Serikat. Naskah ini dikirim via japri oleh penulis ke J5NEWSROOM