Pembangunan Papua dan Proyek Food Estate Merauke: Sama-Sama Gagal?

Tarian warga Papua menyambut wisatawan. (Foto Net)

Oleh Alex Runggeary

“Everything in this world was created twice,” anonim.

Proyek Pembangunan tersukses sepanjang sejarah pembangunan di Papua pada masanya (1967 – 1969) adalah Proyek FUNDWI dari PBB – Funds from the United Nations for the Development of West Irian -. Dana dari negeri Belanda yang dikelola sendiri oleh PBB karena pertimbangan mentalitas orang Indonesia dan sistem kerja mereka yang koruptif.

Apalagi pada masa itu Indonesia lagi miskin – miskinnya karena ulah PKI. Pada masa berakhirnya Proyek karena, orang Papua memutuskan bergabung dengan Indonesia lewat Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) Juli – Agustus 1969, proyek ini merekomendasikan dua Proyek Tindak Lanjut di Papua, yaitu:

1. Proyek Kehutanan Papua, Hutan untuk Rakyat Papua. Ingat rumah-rumah prefabricated dari papan. Sebagian di Manokwari dan perumahan di Hamadi dan Angkasa? Dan,

2. Pembangunan Ekonomi Rakyat Papua, ini yang kemudian menjadi The Irian Jaya Joint Development Foundation (JDF) 1970, yang tidak kala suksesnya. JDF didirikan dari sisa dana proyek FUNDWI. Sedangkan rekomendasi nomor 1 Proyek Kehutanan Papua dibuat kabur sehingga tidak jelas hutan rimbanya.

Sejak itulah sesungguhnya Rakyat Papua kehilangan hutannya sendiri. Ia dirampok diam – diam secara sistematis sampai hari ini. Kasus penimbunan kayu gergajian masih mendengung, ” Ada orang kuat di belakangnya “. Praktek seperti biasanya sepanjang masa. Bukti mental koruptif. Sesuatu yang tidak asing di telinga

Saya masuk ke JDF 1 Mei 1975 dengan nomor induk karyawan JDF-062. Saya melihat sendiri satu bandel besar dokumen yang berdiri di antara deretan dokumen Perjanjian Kredit dengan nama – Hamadi Sawmill. Tempatnya di Hamadi di mana pada kemudian hari Theys Eluay bertemu untuk bersama merayakan Hari Pahlawan namun kemudian dibunuh kawan – kawannya sendiri sewaktu dalam perjalanan pulang.

Proyek Penggergajian Hamadi sejak awal merupakan Proyek Strategis yang dibiayai oleh JDF. Entah mengapa Proyek ini kemudian tak jelas lagi. Konon dialihkan dan dimiliki oleh salah satu anak pak Harto, dengan nama PT Hanurata, yang tentu saja di bawah pengelolaan tentara di lapangan.

Bisa dipahami, hutan menjadi bagian penting bagi tentara karena tempat operasi mengejar anggota Organisasi Papua Merdeka, OPM. Tetapi juga hutan yang kaya ini adalah sumber pendapatan operasional bagi mereka. Pada masa itu, hutan tidak menjadi perhatian siapa – siapa, maka sejak itu, Hutan Papua digerogoti secara perlahan tapi pasti.

Pembukaan lahan besar – besaran di daerah Merauke untuk rencana Food Estate, menurut catatan beberapa ahli, dalam jalan sejarahnya, patut diduga akan gagal. Sudah banyak bukti di daerah lain seperti di Kalimantan. Lalu siapa peduli? Tidak ada yang peduli ketika kita sebagai bangsa sudah terjebak dalam otoritarianisme. Kita sebagai rakyat tak berdaya karena akan digilas habis.

Lalu apa gunanya Food Estate besar itu? Ia pada dasarnya menjadi penting untuk mengambil kayunya dan menghabiskan anggaran negara dengan membagikan Proyek balas jasa. Kata temanku dari negeri Belanda, “rusak !”

Artinya, pemerintah yang kita cintai ini, sebenarnya tidak sungguh – sungguh mau mensejahterakan rakyatnya, sesuai Amanat Konstitusi, tetapi mengatasnamakan mereka atau lebih tepat menunggangi mereka untuk merampok anggaran negara yang mana merupakan hak dari rakyat untuk mendapatkan kesejahteraan dari sana. Rusak !

Setali tiga uang, sama dan sebangun dengan Pembangunan Papua dengan Dana Otus*) dapat disimpulkan bahwa upaya dengan niat baik ini gagal hanya karena penerapannya jauh dari tata – kerja atau lebih tepat METODOLOGI yang tidak tepat. Padahal pemerintah punya banyak ahli. Ahli dari balik meja.

Hasil dari tata cara berpikir dan tata cara kelola itu dapat kita lihat hari ini. Rakyat Papua termiskin se Indonesia. Itu fakta. Fakta lain yang merupakan indikator adalah hasil penelitian Dr. Agus Sumule dari Universitas Negeri Papua Manokwari.

Di Provinsi Papua Barat terdapat sekitar 620.000 anak usia sekolah yang tidak bersekolah. Tahun depan dan seterusnya bisa berkembang menjadi 1 juta anak. Ini kelalaian negara yang luar biasa. Belum ditambah propinsi lainnya di Papua.

Apa artinya, bahkan Pembangunan dengan Dana Otsuspun gagal di depan mata. Pejabat Daerah maupun Pusat tidak terlalu perduli selama anggaran terus mengucur setiap tahun. Menciptakankan orang kaya baru

.Apakah kita harus menunggu sampai rakyat begitu miskin sehingga terjadi pemberontakan. Atau dunia internasional mendesak agar Rakyat Papua diberi kesempatan untuk Referendum? Itu bisa buyar semua cita – cita luhur kita sebagai bangsa dalam kerangka NKRI.

Upaya Pembangunan Papua sangatlah mungkin diperbaiki dengan mengikuti pola-pola pembangunan yang telah teruji keberhasilannya. Apa yang pernah dilakukan oleh JDF pada masanya, mungkin saja dapat ditiru, dengan tentu saja diadaptasi dengan situasi dan kondisi saat ini.

Pemerintah harus menentukan – Strategi Pembangunan Papua – yang tepat sehingga dapat menghemat Sumber Daya seperti, dana, tenaga dan waktu. Dengan Strategi yang tepat, itu seperti – sekali mengayuh dua tiga pulau terlampaui- Saya menganjurkan Pembangunan Ekonomi Rakyat sebagai – Core Strategy -. Pendidikan, Kesehatan dan lainnya bersinergi dengan strategi utama ini, atau yang biasa disebut – Integrated Strategy.

Mengapa Ekonomi Rakyat? Menurut Hukum Maslow, makan merupakan salah satu kebutuhan paling mendasar manusia. Orang harus makan dari jerih payahnya sendiri, dari hasil keringat sendiri. Bukan dari hasil mengemis atau Bansos. Kisah sukses Petani Kakao Genyem di bawah pengelolaan JDF, yang berhasil menyekolahkan anaknya, Gustaf Griapon, sampai ke jenjang Perguruan Tinggi bukanlah isapan jempol belaka.

Saya percaya banyak Gustaf lainnya di Tanah Papua yang bertebaran sampai ke mana – mana. Kata seorang ibu penjual pinang asal Genyem, “Kalau saja JDF masih ada, kami orang Genyem tidak susah seperti sekarang. 620ribu anak di Propinsi Papua Barat seharusnya masih bisa tetap sekolah andai saja orang tuanya punya penghasilan tetap. Seperti apa itu, penghasilan tetap? Itulah yang perlu kita kaji bersama. Sementara ini tidak ada jalan lain, pemerintah menanggung sepenuhnya keberlanjutan pendidikan anak – anak ini. Kita belum bicara bidang kesehatan. ” arooo rusak !”

“First things first”, Steven R. Covey mengajak kita berpikir secara sistematik, kita harus mampu menetapkan – prioritas. Prioritas kita adalah memberikan pekerjaan kepada penduduk agar mereka memiliki kemampuan memutuskan secara mandiri apa yang penting bagi mereka.

Untuk memilih Pembangunan Ekonomi Rakyat Papua yang sukses ada 12 Kriteria yang patut dipenuhi. Apa sajakah itu? Saya susulkan nanti pada tulisan lain.

Kalau kita tidak segera melakukan perbaikan maka Pembangunan Papua dengan Dana Otsus akan sama dengan Proyek Food Estate yang pernah ada, dan gagal semuanya. Termasuk Food Estate Merauke, yang hutannya akan segera habis dan masyarakat di sana akan menjual batang tebu bekas untuk membeli sagu.

Pertanyaan mendasarnya menjadi, apakah benar kita mau membangun masyarakat kita, ataukah kita memang bermaksud- mencuri.

Kata Rocky Gerung, kejahatan itu sudah jauh hari dimulai sejak dalam pikiran, ada niat jahat. Is that the reason why everything in this world created twice. Firstly, in the mind and secondly in reality.

Tapi saya pribadi masih punya harapan. Kegagalan kita karena kita tidak mau belajar dan mengikuti tata cara Pembangunan yang benar. Termasuk memenuhi 12 kriteria pembangunan yang saya sebutkan di atas. Hanya orang dungu melakukan kesalahan yang sama!

Yogyakarta, 27 September 2024

Penulis adalah Independent Researcher dan Anggota Komunitas X – JDF dengan nomor induk karyawan JDF-062