Pengungsi Etnis Chin di Malaysia Tuding Badan PBB Lakukan Penganiayaan

Seorang pengungsi etnis Chin memandang ke luar jendela di apartemen di Kuala Lumpur, Malaysia, 17 Juni 2010. Etnis Chin berdemo di Kuala Lumpur pada 26 September 2024, menuduh badan pengungsi PBB melakukan penganiayaan. (Foto: Saeed Khan/AFP).

J5NEWSROOM.COM, Kuala Lumpur – Pengungsi etnis Chin dari Myanmar di Malaysia mengajukan tuduhan terhadap badan pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), UNHCR, yang mereka anggap melakukan pelecehan dan gagal memberikan perlindungan yang diperlukan, sehingga membahayakan nyawa mereka.

Ratusan anggota Aliansi Pengungsi Chin menggelar demonstrasi pada Kamis (26/9) di luar kantor UNHCR di Kuala Lumpur, ibu kota Malaysia.

Orang-orang Chin, yang mayoritas beragama Kristen, adalah kelompok etnis dan agama minoritas di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha. Mereka mengalami penindasan yang memicu konflik kekerasan di negara tersebut. Selama beberapa dekade terakhir, banyak orang etnis Chin meninggalkan Myanmar, dengan Malaysia menjadi salah satu tujuan utama.

Data PBB bulan lalu menunjukkan ada sekitar 27.250 pengungsi dan pencari suaka etnis Chin di Malaysia yang terdaftar di UNHCR. Namun, James Bawl Thang Bik, ketua Aliansi Pengungsi Chin, mengatakan kepada VOA pada Kamis bahwa masih ada puluhan ribu pengungsi lain yang tidak terdaftar.

Dia juga menyatakan bahwa UNHCR terlalu lama memutuskan status pengungsi bagi pencari suaka yang mengajukan permohonan. “Prosesnya bisa memakan waktu bertahun-tahun,” ujarnya.

VOA mengonfirmasi dengan UNHCR Malaysia mengenai waktu yang biasanya diperlukan untuk memutuskan suatu kasus, namun tidak menerima jawaban dalam waktu cepat.

Masalahnya semakin rumit karena Malaysia belum menandatangani Konvensi Pengungsi PBB dan tidak mengakui status pengungsi secara resmi, serta memandang mereka sebagai imigran ilegal.

Dengan terdaftar di UNHCR, etnis Chin akan mendapatkan perlindungan yang biasanya menghindarkan mereka dari penangkapan. Namun, pengungsi tetap tidak diperbolehkan untuk bersekolah di sekolah negeri atau bekerja secara legal—meskipun banyak yang bekerja secara ilegal, yang membuat mereka rentan terhadap eksploitasi oleh majikan, menurut kelompok hak asasi migran.

James Bawl Thang Bik mengungkapkan bahwa setelah kudeta Myanmar 2021, sekitar 50 tentara dan polisi etnis Chin yang menentang pemerintah Myanmar melarikan diri ke Malaysia. Dia mengatakan beberapa di antaranya telah ditangkap dan kini berada dalam tahanan di Malaysia karena tidak memiliki dokumen UNHCR.

“Jika mantan tentara dan polisi ini dipulangkan ke Myanmar, nyawa mereka bisa dalam bahaya,” katanya.

“UNHCR harus memprioritaskan kasus-kasus semacam ini dan mendaftarkannya dengan cepat.”

Dokumentasi dari UNHCR juga memberikan pengungsi akses perawatan medis di rumah sakit umum dengan biaya lebih rendah dibandingkan orang asing. Namun, Aliansi Pengungsi Chin mengatakan pencari suaka yang tidak memiliki dokumen UNHCR sering kali tidak bisa mendapatkan perawatan medis saat mereka membutuhkannya.

“UNHCR harus segera bertemu dengan orang-orang ini dan memberikan status dan dokumentasi yang diperlukan,” kata Bik, merujuk pada kasus pengungsi yang mengalami patah tulang dan infeksi serius.

Menanggapi pertanyaan media setelah demonstrasi pada Kamis, badan pengungsi PBB mengeluarkan pernyataan tertulis yang berbunyi: “UNHCR ingin menekankan bahwa kami memahami rasa frustrasi yang dirasakan oleh banyak komunitas pengungsi yang tinggal dalam kondisi perlindungan yang kompleks di Malaysia, di mana mereka tidak memiliki status hukum, tidak bisa mengakses pekerjaan legal atau pendidikan formal. UNHCR berusaha sebaik mungkin untuk melindungi dan membantu pengungsi, termasuk memprioritaskan perlindungan dan bantuan bagi pengungsi yang sangat rentan.”

Selain itu, Bik menyampaikan bahwa dia menerima laporan tentang penjaga keamanan di luar kantor UNHCR yang meninju dan menendang etnis Chin yang mencoba masuk tanpa membuat janji.

Menanggapi laporan tersebut, UNHCR menyatakan dalam pernyataan tertulisnya bahwa mereka “tidak memberikan toleransi” terhadap perlakuan semacam itu. Namun, mereka juga menambahkan, “Saat ini, kami belum menerima laporan pelecehan apa pun yang dilakukan oleh petugas keamanan terhadap pengungsi dari Komunitas Chin.”

Ketua aliansi tersebut membantah tanggapan UNHCR dan menyebutnya salah. “Kami telah memberi tahu mereka tentang penganiayaan ini berkali-kali,” katanya.

Sumber: voaindonesia.com

Editor: Saibansah