Assalamu’alaikum, Piala Dunia 2026

Ilustrasi Timnas Indonesia menuju Piala Dunia 2026. (Foto: Bola)

Oleh Akmal Nasery Basral

Impian timnas Indonesia berlaga di Piala Dunia 2026 kian mendekati kenyataan. Tinggalkan cara pandang usang ‘Akamsi vs Akamso’

1/
Desember 2020 saya merilis novel berjudul Disorder yang diterbitkan Bentang Pustaka. Ini fiksi ilmiah tentang pandemi masa depan yang akan melumpuhkan dunia pada 2026. Disorder merupakan bantahan saya atas fiksi ilmiah The End of October karya Lawrence Wright yang terbit April 2020. Wright membayangkan pandemi mematikan berikutnya datang dari virus Kongoli (nama fiktif) yang muncul dari Jakarta.

Di belakang Wright ada asistensi penting dari Sir Ridley Scott, sutradara sohor ( Kingdom of Heaven, Gladiator) yang mematangkan cerita itu.  Sebagai orang Indonesia saya menolak imajinasi keblinger mereka yang menjadikan Jakarta sebagai awal sumber pandemi.

Saya bantah dengan fiksi ilmiah juga melalui Disorder bahwa pandemi berikutnya tetap dari China, kali ini dari kota Harbin yang berbatasan dengan Rusia. Sebab di sana ada lab BSL-4 untuk hewan besar seperti babi, yang merupakan inang virus zoonosis SOIV-26 ( _Swine Origin Influenza Virus 2026)—juga nama fiktif yang saya berikan.  

Sebelum masuk kisah  Disorder–sebelum halaman judul–saya menuliskan “10 Hal yang Terjadi Pada 2026”. Karena terlalu panjang jika semuanya dituliskan, saya kutip tiga saja. Misalnya nomor 10 (“Kiamat terjadi pada Jum’at, 13 November 2026. Prediksi ilmuwan Heinz von Foerster, Patricia M. Mora, dan Lawrence W. Amiot yang dipublikasikan di majalah Science edisi 4 November 1960”; atau nomor 3 (“Teleskop ruang angkasa PLATO (PLAnetary Transits and Oscillations of stars) mulai dioperasikan Badan Ruang Angkasa Eropa. Terdiri dari 34 superkamera, tugasnya menemukan planet dengan atmosfer kehidupan mirip bumi.”)

Lantas, peristiwa besar apa yang saya tempatkan di nomor satu? Believe it or not, “Indonesia menjadi peserta Piala Dunia Sepakbola dengan tuan rumah Amerika Serikat, Kanada, dan Mexico. Partai final berlangsung di Stadion MetLife, New Jersey”.

Itu draft awal yang saya tulis. Saat akan mengirimkan naskah final kepada Salman Faridi, CEO Bentang Pustaka, frasa “Indonesia menjadi peserta Piala Dunia” saya HAPUS meski kalimat selanjutnya tetap ada. (Bisa dicek oleh mereka yang punya novel Disorder).

Mengapa frasa “Indonesia menjadi peserta (Piala Dunia Sepakbola 2026)” saya hilangkan? Sebab, novel saya fiksi ilmiah yang tetap harus berbasis data. Bukan high fantasy ala Harry Potter dan teman-temannya naik sapu terbang sambil main bola ( quidditch) di udara.

Pada saat saya menulis Disorder — empat tahun lalu — membayangkan timnas Indonesia menjadi peserta Piala Dunia 2026 rasanya “hil yang mustahal”. Tetapi setelah pengambilan sumpah WNI pesepakbola Mees “Hito” Hilgers dan Eliano “Mang Kabayan” Reijnders di KBRI Brussels, Senin sore kemarin (Senin malam WIB, 30/9), saya menyesal telah menghapus frasa “Indonesia menjadi peserta Piala Dunia Sepakbola … “ dari novel Disorder itu.

Seharusnya saya biarkan saja tercetak, sehingga saya berpeluang menjadi penulis Indonesia pertama yang meramalkan kesuksesan timnas Indonesia–hitam di atas putih–dalam sebuah buku yang diterbitkan penerbit besar.

2/
Apakah kini saya overoptimistis terhadap timnas Indonesia? Boleh jadi.

Hasil pertandingan timnas Indonesia melawan dua raksasa Asia, Arab Saudi dan Australia, yang berakhir seimbang, merupakan indikasi kuat yang boleh jadi tak pernah dibayangkan juga oleh Pelatih Shin Tae-yong.

Logika waras mana yang akan mengatakan tim peringkat 133 dunia (awal bulan lalu, sekarang peringkat 129) akan mampu mengimbang Arab Saudi (peringkat 56), apalagi Australia (peringkat 24), selain menjadi bulan-bulanan dan lumbung gol mereka? Tak ada.

Tapi kenyataannya, kehadiran Maarten Paes ‘van Kediri’ di bawah mistar gawang, membuat keajaiban terjadi: Indonesia tidak kalah. Apalagi kalah telak seperti diprediksi banyak media dan pundit sepakbola.

Sebelum putaran ketiga kualifikasi Piala Dunia dimulai, Coach Shin menyebutkan peluang timnas Indonesia menjadi peserta Piala Dunia 2026 “hanya 20-30 persen”. Bisa dipahami karena dari 6 peserta Grup C, Indonesia menempati peringkat terbawah rangking FIFA. Peringkat tertinggi ditempati Jepang (#18) langganan Piala Dunia, lalu Australia (24), Arab Saudi (56), Bahrain (80), dan China (87). Namun setelah dua laga berjalan, posisi sementara Indonesia sekarang di peringkat 4 klasemen di atas Australia dan China. Masih delapan laga tersisa.

Menghadapi laga ketiga di Bahrain (10 Oktober) dan China (15 Oktober), kans Indonesia menang sangat besar meski pertandingan berlangsung di negara lawan. Penyebabnya? Gelombang naturalisasi pemain yang terus berlanjut. Setelah Mees dan Eliano, proses naturalisasi akan terus bergulir dengan kedatangan pemain-pemain berdarah separuh, seperempat, bahkan seperdelapan Indonesia. Bahkan dari para blijvers.

Inilah nasionalisme baru dalam bingkai globalisasi sepak bola modern yang gagal dipahami para pengkritik naturalisasi dan pengusung “local pride” (prioritas pemain pribumi yang lahir, besar, dan bermain di Liga 1 dalam negeri). Anggota DPR Komisi X Nuroji—kolega lama saya di majalah Gatra–menyebutnya sebagai  “akamsi” atau “anak kampung sini”.

Apa yang tidak disebutkan Nuroji, namun dia maksudkan sebenarnya adalah, para pemain naturalisasi seperti Sandy “es krim” Walsh, Ragnar “Wak Haji” Oratmangoen, Justin “Preman” Hubner, dan lainnya, adalah “akamso” atau “anak kampung sono”.  Sebab, mereka tidak lahir, besar dan bermain di Liga 1 domestik. Mereka lahir, besar, dan bermain di liga luar negeri.

Paradigma “Akamsi vs Akamso” ini jelas warisan cara pandang sepak bola tarkam memperebutkan Piala Bupati, yang ujung-ujungnya—karena begitu sering terjadi—berakhir menjadi adu jotos dan smack down massal. Tak usah jauh-jauh mencari contoh.

Lihat saja ajang PON XXI Aceh Sumut yang baru berakhir. Pada laga tim sepak bola Aceh vs Sulawesi Tengah, wasit sampai KO dihajar pemain. Inilah salah satu contoh warisan klasik “Akamsi vs Akamso” yang tak lain wajah tribalisme di lapangan hijau.

Argumen bahwa naturalisasi memperkecil kesempatan pemain lokal masuk timnas merupakan cara berpikir salah kaprah menggunakan logika proteksionisme. Para pemain lokal yang berambisi masuk timnas bukan diberikan privilese apalagi wild card, tetapi harus dengan menunjukkan performa prima seperti Rizky Ridho (yang juga kapten timnas U-23) atau Witan Sulaeman. Dengan begitu kualitas timnas juga terdongkrak.

Jika komposisi timnas ingin diatur dengan “logika TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri)” dalam perbandingan rasio pemain lokal (60%) dan pemain naturalisasi (40%) seperti pernah diucapkan Putra Nababan, anggota DPR kolega Nuroji, sejatinya itu hanya membuat timnas sebagai etalase kosmetik, bukan berorientasi pada peningkatan kualitas tim secara menyeluruh.

Dan lagi, bukankah sebelum era Coach Shin Tae-yong dan Ketua Umum Erick Thohir, sistem seleksi timnas yang mengutamakan “local pride” justru yang membuat prestasi Indonesia jalan di tempat? Bahkan sempat mendapat Sanksi FIFA pada 2015?

3/
Siapa bangsa Indonesia yang kini tidak merinding melihat Bendera Merah Putih semakin sering berkibar di stadion luar negeri? Terakhir, tiga hari lalu, dibentangkan Mees Hilgers ketika tim yang dibelanya, FC Twente bertandang ke “stadion angker” Old Trafford milik Manchester United?

Atau bendera Indonesia yang kini berkibar di Stadion Pier Luigi Penzo, Venezia, Italia tempat Jay Idzes—kapten terbaru timnas Indonesia—merumput? Pengurus FC Venezia, klub Liga Serie-A Italia yang prestius, merasa perlu memasang bendera Indonesia sebagai penghormatan mereka terhadap Bang Jay—nama panggilan kesayangan dari para fans negeri #62.

Atau bagaimana kini setiap lagu “Indonesia Raya” (W.R. Supratman) dikumandangan di awal pertandingan, menjadi sensasi baru di berbagai negara karena partisipasi puluhan ribu penonton yang bersemangat menyanyi bersama. Atau lagu “Tanah Airku” (Ibu Soed) yang selalu dibawakan di akhir pertandingan yang membuat seisi stadion, dan penonton di rumah, larut dalam keharuan. Tak jarang dengan mata berkaca-kaca seperti ditunjukkan kiper Maarten Paes usai laga melawan Australia di GBK Jakarta awal September lalu.

Maka, realitislah. Ini era globalisasi.  Jangan lagi terus berkutat dalam teori “Akamsi vs Akamso” yang sudah ketinggalan zaman, Bung. Sepak bola tidak boleh diskriminatif, chauvinistik dan ultra-nasionalistik.

Kurangi nyinyir tak perlu tentang pemain naturalisasi. Sebab, naturalisasi itu proses bukan status. Siapapun yang sudah tersaring masuk timnas, entah ayah-ibunya Indonesia tulen 100% atau hanya salah satu dari mereka (bahkan hanya jika salah satu dari kakek-nenek mereka), maka mereka adalah PEMAIN INDONESIA dengan merah putih di hati dan semangat garuda di dada.

Biarkan mereka terbang setinggi dan sejauh mungkin menuju Amerika Serikat, Kanada dan Mexico. Kita dukung mereka dengan bersama-sama mengatakan “Assalamu’alaikum Piala Dunia 2026” dan “Wassalam, Akamsi vs Akamso”.

Cibubur, 1 Oktober 2024

Penulis adalah Sosiolog, novelis, pendukung timnas Indonesia yang belum sampai level Ultras Garuda