Parlemen Rasa Konglomerat

Ilustrasi Parlemen.(Foto: Ist)

Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha

SELAMAT datang di Republik Pengusaha Raya! Kalau dulu kata orang, DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat, sekarang mungkin lebih cocok disebut Dewan Pengusaha (Kaya) Raya. Bayangkan, dari 575 anggota DPR periode 2024-2029, 262 di antaranya adalah pengusaha. Itu berarti hampir setengah DPR sekarang lebih akrab dengan saham daripada aspirasi rakyat.

Coba bandingkan dengan keberadaan pelawak di parlemen, seperti Komeng. Rasanya, pelawak di DPR mungkin lebih kecil risikonya —setidaknya kita bisa tertawa. Tapi, apa jadinya kalau mayoritas mereka adalah orang yang lihai melobi saham, tapi tak paham betul soal moral?

Jadi, begini. Kalau Anda dulu mengira DPR itu tempat membahas undang-undang untuk kesejahteraan rakyat, sekarang mungkin Anda perlu meralat definisi itu. DPR tampaknya berubah jadi tempat diskusi saham dan modal.

Menurut penelusuran Tempo dan Yayasan Auriga Nusantara, mereka —para pengusaha merangkap anggota DPR— bukan hanya sekadar duduk manis. Mereka punya saham di ratusan perusahaan, menjabat komisaris, hingga duduk di kursi direksi.

Sungguh multitasking! Bayangkan saja, sambil mengetok palu sidang, mereka mungkin sedang sibuk mengecek harga saham tambang.

Apa bisnis mereka? Oh, tidak tanggung-tanggung! Dari penyiaran, perdagangan umum, hingga industri ekstraktif. Itu kata Tempo.

Sama saja, kalau Anda penasaran kenapa tayangan sinetron masih mendominasi TV kita, jangan salahkan sutradara. Mungkin, justru karena yang mengatur frekuensi adalah orang yang juga punya saham di stasiun TV itu.

Anda mungkin berpikir, “Ah, ini pasti kebetulan. Masa iya, DPR jadi tempat konglomerat ngumpul?” Mari kita lihat datanya. Dari PDI-P, ada 71 pengusaha yang duduk di DPR. Partai Golkar menyumbang 48 pengusaha, Gerindra 41, dan NasDem 21.

Bahkan partai yang sering bicara soal moralitas dan spiritualitas, seperti PKB dan PKS, juga ikut menyumbang 26 dan 22 pengusaha.

Bahkan PPP yang katanya partai warisan ulama, tidak mau kalah dengan 6 pengusaha. Wah, ulama kita ini benar-benar paham ekonomi pasar!

Menurut Marepus Corner Working Paper (2020), dalam periode sebelumnya, persentase pengusaha di DPR bahkan lebih besar lagi —55%! Ini artinya, tren pengusaha di parlemen terus meningkat.

Sebuah pencapaian yang patut dibanggakan, kan? Dari sini, kita bisa simpulkan: DPR kita benar-benar jadi franchise konglomerasi!

Coba kita bicara serius sejenak. Dengan semakin banyak pengusaha di DPR, potensi konflik kepentingan pun makin besar. Bagaimana tidak?

Bayangkan seorang pengusaha tambang duduk di komisi yang membahas peraturan soal lingkungan. Apa mungkin dia akan membuat regulasi yang memperketat operasi tambangnya sendiri? Ini ibarat meminta serigala menjaga kandang domba. Apa yang terjadi? Dombanya habis, serigalanya gemuk.

Contoh nyatanya, ada UU Minerba yang membuat perusahaan tambang semakin leluasa menggarap bumi Indonesia. Para pengusaha ini juga terlibat dalam UU Omnibus Law yang isinya lebih banyak berpihak kepada investor ketimbang buruh.

Jadi, jika Anda bertanya-tanya mengapa hak-hak buruh semakin dipinggirkan, jawabannya ada di DPR, atau lebih tepatnya di rapat direksi perusahaan tempat mereka juga bekerja.

Dengan semakin kuatnya cengkeraman pengusaha di DPR, kita melihat kekuatan oligarki semakin nyata. Apa itu oligarki? Itu ketika sekelompok kecil orang yang punya kekuasaan dan uang mengendalikan jalannya negara.

Jadi, ketika kita bicara tentang UU, jangan heran kalau isinya lebih banyak tentang “Bagaimana caranya bikin pengusaha makin kaya?” ketimbang “Bagaimana caranya rakyat bisa hidup lebih sejahtera?”

Misalnya saja, kebijakan lingkungan yang tampaknya makin kendur. Tentu saja, kalau yang membuat aturannya adalah pengusaha yang punya tambang dan perkebunan sawit, siapa yang peduli dengan orangutan atau hutan hujan tropis kita? Toh, itu semua cuma “penghalang” buat ekspansi bisnis, bukan?

Kondisi ini membuat kita merenung: apakah demokrasi yang dulu kita perjuangkan sudah berubah jadi sistem pasar bebas?

Anda mau kursi DPR? Mudah saja, tinggal punya uang dan jaringan bisnis, dan voila, Anda bisa duduk di sana. Mau bikin UU yang menguntungkan bisnis Anda? Jangan khawatir, kawan-kawan sesama pengusaha di DPR siap membantu.

Seperti yang diungkap Eve Warburton dalam artikelnya “Private Power and Public Office,” sekarang kita melihat transformasi besar: pengusaha tidak lagi jadi pemain pinggiran. Mereka sekarang yang memegang kendali politik.

Dulu, di era Orde Baru, mereka cuma penonton di balik layar. Tapi sekarang? Mereka justru yang pegang remote-nya! Apakah ini salah Jokowi? Ah, dia kan juga pengusaha dulunya, jadi mungkin memang ini eranya.

Lalu, apa yang harus kita lakukan? Baiklah, kita bisa saja pasrah dan membiarkan para pengusaha ini mengatur negara, sambil kita menonton drama TV dari stasiun milik mereka. Tapi, apakah kita harus diam saja?

Mungkin kita perlu bertindak. Setidaknya, jangan lupa suarakan kritik setiap kali ada UU yang terkesan “pro-bisnis”. Dan siapa tahu, satu hari nanti, rakyat kecil yang sekarang tertawa karena kelucuan politik ini bisa membalikkan keadaan. Atau, setidaknya, kita bisa berharap Komeng benar-benar masuk DPR untuk memberi sedikit hiburan di tengah seriusnya para pengusaha.

Di akhir cerita ini, mari kita ingat: kalau tertawa itu sehat, mungkin kita butuh lebih banyak pelawak di DPR daripada pengusaha. Sebab, yang terjadi sekarang, terlalu banyak pengusaha di DPR hanya membuat demokrasi kita terlihat seperti lelucon yang gagal dipahami.*

Jakarta, 03.10.2024

Penulis adalah Pendiri Republika Online 1995