Sandera

Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha

SALUT, dalam pekan-pekan ini polisi sudah menetapkan sembilan orang tersangka kasus premanisme terhadap acara diskusi Forum Tanah Air. Nama-nama mereka sudah dirilis. Sayangnya, Propam Polri yang memeriksa polisi-polisi yang terlibat belum terdengar kabarnya.

Terbaru, netizen membongkar praktek premanisme yang lebih tak masuk akal, di tempat yang sama. Para preman yang biasa dianggap sebagai “kacung jalanan” mendadak tampil layaknya “boss level” dalam video game politik Indonesia. Ya, benar. Preman! Mereka bukan hanya merusak ruangan, tapi juga “menyandera” tokoh-tokoh nasional yang sedang ingin berbincang santai.

Di sebuah negeri yang konon katanya demokratis, peristiwa diskusi publik harusnya menjadi rutinitas biasa, layaknya makan bakso di warung kaki lima. Namun, ternyata kali ini, diskusi bukan hanya dibubarkan, tapi bertransformasi diubah jadi ajang sandera.

Momen ini berawal dari peristiwa pada 29 September 2024 di Hotel Grand Kemang, Jakarta, saat Forum Tanah Air yang penuh wacana mulia hendak digelar. Diskusi yang seharusnya menjadi ajang tukar pikiran malah berubah menjadi film thriller tingkat kampung.

Preman-preman berseragam hitam dan memakai masker itu mendobrak masuk, mengacak-acak suasana, dan — plot twist-nya — aparat yang hadir hanya menonton dengan ekspresi datar. Mungkin mereka mengira ini adegan gladi resik untuk film laga, jadi lebih baik diam saja.

Preman pun tak mau tanggung-tanggung dalam aksinya. Mereka berkolaborasi dengan aparat, seperti pemain sepak bola dan wasit yang tiba-tiba memutuskan main dalam satu tim. Dengan segala keanggunan dan sikap otoritatif, mereka memberi dua pilihan kepada para peserta diskusi yang malang: bubar atau tetap tinggal dalam ruangan dengan pintu terkunci.

Sungguh pilihan yang bijaksana, bukan? Dalam situasi yang penuh tekanan, para peserta memilih tetap bertahan di dalam ruangan. Mungkin dalam benak mereka, “Tak apa disandera, berarti kita bisa melanjutkan diskusi dalam ruangan hotel berbintang.”

Namun, drama tidak berhenti di situ. Ketika acara sebentar dilanjutkan dengan jumpa pers, tiba-tiba ada yang sadar, dan tak terima —mungkin intel di dalam ruangan? Acara ini secara paksa mereka hentikan. AC pun dimatikan, mungkin agar peserta merasakan sensasi “sauna gratis” di ruangan yang panas.  

Lalu, makan siang yang seharusnya dinikmati santai juga tak luput dari intervensi para preman. Mereka memerintahkan makan siang dimajukan ke pukul 11, dengan waktu makan hanya sepuluh menit.

Ini bentuk kontrol waktu yang brilian: siapa yang butuh menikmati makanan ketika Anda sedang dalam penyanderaan? Mungkin mereka juga ingin peserta segera selesai makan agar bisa kembali disandera dengan lebih fokus.

Dan tak lupa, ada sesi rekam-merekam. Preman-preman ini punya gaya yang mirip dengan paparazzi, merekam peserta diskusi saat makan. Apa yang mereka inginkan dari rekaman itu? Mungkin mereka ingin menunjukkan kepada dunia bahwa para peserta yang disandera tidak kelaparan.

Mereka ingin memperlihatkan pada dunia bahwa preman ternyata juga punya hati, bukan? Mereka mungkin ingin memastikan semua orang tahu bahwa meskipun disandera, mereka tetap diberi makan. Semacam paket penyanderaan plus logistik.

Setelah serangan dahsyat ala adegan film perang Vietnam, dilanjutkan dengan “penyanderaan”, hal yang terjadi kemudian sungguh sulit dipercaya. Dalam video viral yang muncul, kita bisa melihat bahwa preman-preman ini, alih-alih buru-buru kabur, justru berpelukan dan cium tangan dengan para aparat yang bertugas.

Barangkali, mereka anggap ini momen emosional, sejenis “Brotherhood of the Street,” di mana mereka berbagi kasih sayang yang lebih mendalam dari sahabat lama yang bertemu kembali setelah puluhan tahun berpisah.

Yang paling menarik dari peristiwa ini adalah peran aparat yang luar biasa. Bukan sebagai pengaman acara diskusi yang digagas para tokoh nasional, tapi sebagai mediator antara perusuh dan pengelola acara.

Aparat dengan sabar menyampaikan pesan-pesan preman kepada peserta. Bisa dibilang, mereka menjalankan tugas bak “account executive” dalam sebuah proyek besar. Setiap keinginan preman disampaikan dengan teliti, seolah preman-preman ini klien VIP yang perlu dilayani dengan penuh perhatian.

Pertanyaannya sekarang: preman ini sebenarnya siapa? Kenapa mereka bisa memerintah aparat? Kenapa aparat keamanan tunduk para mereka?

Apakah ini wujud nyata dari adagium “uang bisa bicara”? Atau jangan-jangan preman ini representasi dari kekuatan lebih besar yang bersembunyi di balik layar?

Dalam situasi ini, kita hanya bisa bertanya-tanya. Yang jelas, peristiwa ini bukan sekadar soal diskusi yang dibubarkan, tapi soal bagaimana kekuasaan bekerja di Indonesia —dengan cara yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Preman-preman ini, dengan taktik “penyanderaan” ala mafia, telah mengubah dinamika politik Indonesia menjadi lebih absurd dari biasanya. Dalam era ketika orang-orang bicara soal demokrasi dan kebebasan, justru preman-preman-lah yang mengontrol ruang diskusi.

Entah ini parodi dari demokrasi kita, atau sinyal bahwa situasi sedang sangat kacau. Yang jelas, kita sudah semakin jauh dari logika, dan semakin dekat dengan kegilaan.

Pada akhirnya, jika tidak diungkap terang-benderang siapa aktor di baliknya, kasus ini mungkin akan berakhir begitu saja tanpa ada konsekuensi besar. Preman-preman akan kembali ke jalanan, mungkin dengan cerita baru tentang bagaimana mereka berhasil menyandera tokoh nasional.

Aparat pun akan kembali melanjutkan tugas mereka, mungkin dengan pelajaran baru tentang cara menengahi konflik antara diskusi intelektual dan premanisme. Sementara kita, rakyat biasa, hanya bisa tertawa getir, menonton sandiwara ini berlanjut tanpa henti.*

Jakarta, 07.10.2024

Penulis adalah Pendiri Republika Online 1995