Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha
DEBAT Pilkada Jakarta tahun ini benar-benar sesuatu yang “spesial.” Spesial dalam arti yang sangat ironis. Bagaimana mungkin sebuah ajang berjudul “debat” politik yang seharusnya dipenuhi dengan benturan gagasan dan visi ternyata berjalan seperti acara talkshow sore hari yang santai dan adem-ayem?
Sudah pasti kecewa kalau ada yang berharap di debat akan ada serangan tajam, adu argumen sengit, atau setidaknya sedikit percikan ide yang memantik gairah politik. Maaf, itu hanya harapan hampa, persis seperti judul lagu yang didendangkan M. Mashabi.
Ketiga pasangan calon —Ridwan Kamil-Suswono, Dharma Pongrekun-Kun Wardana, dan Pramono Anung-Rano Karno— sepertinya sepakat bahwa debat bukanlah arena gladiator politik. Mungkin benar kata Ridwan Kamil, debat Pilkada bukanlah ring tinju.
Yah, memang tidak ada yang memukul, apalagi sampai KO. Malah sebaliknya, yang ada justru sesi debat ini lebih mirip acara reuni. Semua ramah, sopan, dan penuh senyum. Kira-kira, apakah moderator lupa memasukkan mic yang terhubung ke alat detak jantung? Karena tensi politiknya hampir sama dengan menonton kucing tidur.
Tentu saja, banyak yang bertanya-tanya: kenapa tidak ada yang berani menantang atau sekadar mengkritik gagasan lawan? Apakah ini strategi, atau semua calon sedang berlatih yoga politik?
Jawabannya mungkin lebih sederhana: karena mereka semua berasal dari kolam politik yang sama —Koalisi Indonesia Maju (KIM). PDIP memang belum masuk KIM, tapi tunggu saatnya tiba. Mau siapa pun yang menang, toh, ujung-ujungnya akan bekerja bersama dalam pemerintahan Prabowo-Gibran. Jadi, untuk apa memukul lawan kalau besok lusa akan bertemu di ruang rapat dan berbagi kopi?
Ah, oligarki. Tangan-tangan tak terlihat yang seringkali jauh lebih lihai dari para politisi itu sendiri. Dalam skenario politik Jakarta, tak ada tempat bagi pertempuran gladiator yang brutal, melainkan drama politik yang diatur serapih mungkin agar aman bagi semua aktor.
Dari awal, kita sudah tahu bahwa kandidat yang muncul di panggung Pilkada ini sudah dirancang sedemikian rupa. Anda masih ingat, ada paslon yang dibuat untuk menghindari kotak kosong. Sehingga jangan heran jika atmosfer yang kita rasakan lebih mirip piknik ketimbang perdebatan.
Bahkan, Direktur Eksekutif Aljabar Strategic, Arifki Chaniago, mengatakan dengan blak-blakan bahwa debat kali ini jelas “turun kasta.” Di Pilkada 2017, kita disuguhi duel politik seru antara Anies Baswedan, Basuki Tjahaja Purnama, dan Agus Harimurti Yudhoyono.
Namun kali ini, seperti yang dikatakan Arifki, ketiga pasangan calon seolah bermain dalam sandiwara yang sudah diatur dengan baik. Tak ada petahana yang harus mempertahankan kebijakan, tak ada oposisi yang benar-benar serius menyerang, dan semua ini, tentu saja, berkat desain politik dari hulu yang sudah dirancang untuk menjaga keharmonisan.
Bahkan, ketika salah satu pasangan calon, Dharma Pongrekun-Kun Wardana, diberi kesempatan untuk mengomentari gagasan lawan, mereka malah kembali mempresentasikan program sendiri, seolah lupa bahwa ini adalah debat, bukan seminar kebijakan. Ini tentu menambah bumbu komedi dalam debat yang seharusnya penuh dengan pertarungan ide. Namun sayangnya, tampaknya sudah jelas bahwa tak ada calon yang ingin mengambil risiko.
Tidak adanya petahana di Pilkada ini jelas membuat semua kandidat berada pada posisi yang sama. Dengan tidak adanya dominasi dari pihak tertentu, kesempatan untuk saling menyerang pun menjadi nihil.
Agung Baskoro dari Trias Politika Strategis juga menambahkan bahwa ketiga pasangan calon ini, secara langsung atau tidak langsung, punya hubungan dengan “istana.” Jadi ya, kalau semuanya teman satu geng, kenapa harus ribut?
Mari kita jujur: Pilkada Jakarta kali ini, terutama dalam sesi debatnya, lebih terasa seperti latihan diplomasi internal di antara sekutu daripada panggung kompetisi politik. Tidak ada serangan, tidak ada kritik tajam, dan tidak ada gagasan yang dipertentangkan dengan sungguh-sungguh.
Malah, mungkin lebih tepat itu disebut sebagai forum tukar-menukar program tanpa ancaman. Sepertinya, para paslon sudah sepakat untuk bermain aman dan tak mau mengacaukan suasana damai yang sudah diatur oleh tangan-tangan di balik layar.
Satu-satunya hal yang membuat suasana debat lebih hangat hanyalah AC yang diatur dengan suhu yang nyaman. Sisanya, kita hanya bisa berharap, siapa tahu di debat berikutnya ada yang sedikit berani keluar dari skrip dan menambah bumbu panas dalam panggung politik Jakarta.
Tapi, jangan berharap terlalu banyak. Lagipula, apa pun yang terjadi, drama politik Jakarta sudah berada di tangan yang terampil, dan kita semua tahu, akhir ceritanya akan tetap damai, santai, dan aman.*
Jakarta, 08.10.2024
Penulis adalah Pendiri Republika Online 1995